CHE
  1. Pendahuluan

Ajaran filsafat yang komprehensif telah menduduki status yang tinggi dalam kehidupan kebudayaan manusia, yakni sebagai ideologi suatu bangsa dan Negara. Seluruh aspek kehidupan suatu bangsa, diilhami dan berpedoman ajaran-ajaran filsafat bangsa itu. Dengan demikian kehidupan social, politik, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan, bahkan kesadaran atas nilai-nilai hukum dan moral bersumber atas ajaran filsafat.

Eksistensi suatu bangsa adalah eksistensi dengan ideologi atau filsafat hidupnya, maka untuk kelangsungan eksistensi tersebut harus melalui pendidikan. Dalam kepentingan ini pendidikan dapat diartikan sebagai:

1. Pendidikan sebagai Aktifitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu cipta, rasa, karsa, dan budinurani, serta pertumbuhan dan perkembangan jasmaniahnya.

2. Pendidikan berarti juga lembaga yang bertanggungjawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi pendidikan, system dan organisasi pendidikan.

3. Pendidikan merupakan pula hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam arti ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai satu kesatuan.

Sesuai dengan kenyataan tersebut, bahwa filsafat dalam pendidikan merupakan teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan, atau dapat dikatakan sebagai teori yang dipakai dasar bagaimana ‘pendidikan itu dilaksanakan” sehingga mencapai tujuan (Dewey, 1946: 383). Dewasa ini, salah satu bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan agar supaya mencapai tujuan, yaitu penerapan Teknologi Pendidikan dalam proses pembelajaran. Dalam pembahasan ini problem esensialnya adalah:

  1. Merumuskan secara tegas sifat dan hakekat pendidikan (the nature of education).
  2. Merumuskan sifat dan hakekat manusia, sebagai subyek dan obyek pendidikan (the nature of man).

3. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan (science of education).

4. Merumuskan hubungan antara filsafat Negara, filsafat pendidikan dan politik pendidikan (system pendidikan).

5. Merumuskan system nilai dan norma, atau isi moral pendidikan (tujuan)[1].

Ide filsafat yang memberi asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan bagi kemajuan manusia, telah melahirkan ilmu pendidikan, lembaga pendidikan dan aktifitas penyelenggaraan pendidikan. Maka peranan filsafat dalam pendidikan merupakan landasan pendidikan dilaksanakan.

Dari uraian di atas jelas bahwa latar belakang ide-ide filsafat menentukan pendidikan, sebab tujuan pendidikan bersumber pada filsafat atau ajaran filsafat. Seperti yang dikemukakan Prof. Broudy (1961: 14) dalam bukunya, Building a Philisophy of Education, adalah:

“ In this book the philosophy of education is regarded as the systematic discussion of educational problems on a philosophical level, i.c., the probing into an educational question until it is reduced to an issue in metaphysics, episthemology, ethics, logic, or aesthetics, or to combination of these”.

Mengapa masalah-masalah pendidikan yang merupakan bagian daripada kehidupan obyektif manusia, sebagai persoalan-persoalan praktis, harus dibahas secara filosofis. Apakah dengan demikian malahan menyebabkan pemecahan persoalan bersifat teoritis, mengambang dari kehidupan yang realistis.

Jika ada pertanyaan-pertanyaan demikian, ini disebabkan karena pemikiran filosofis itu dipandang sebagai pikiran-pikiran teoritis, perenungan-perenungan yang tidak bertolak atas kenyataan sosio-kultural dan kebutuhan manusia. Pada hal, pikiran filosofis adalah pikiran murni yang berusaha mengerti sedalam-dalamnya untuk menemukan kebenaran. Caranya dapat melalui induksi, deduksi, analisa rasional atas factor-faktor, perenungan atas konsepsi-konsepsi, pemahaman atas observasi, atau juga melalui intuisi. Semua ide, konsepsi, analisa, dan kesimpulan-kesimpulan filsafat dalam pendidikan adalah berfungsi teori; dan dari teori ini dipakai dasar praktek (pelaksanaan) pendidikan. Maka filsafat memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktik pendidikan.

B. Sistem-Sistem Filsafat Dalam Teknologi Pendidikan

Dengan mengunakan pandangan Jonh Dewey (1946) sebagai dasar bahwa filsafat adalah teori umum dari pendidikan dan adanya hubungan hakiki timbal-balik antara filsafat dan pendidikan, maka berdirilah filsafat pendidikan sebagai suatu ilmu. Cabang ini sebagai suatu system menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan pendidikan, termasuk di dalamnya teknologi pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawab secara filosofis pula.

Filsafat pendidikan sebagai ilmu yang mengadakan tinjauan dan mempelajari obyeknya dari sudut hakekat, berhadapan dengan problem utama yaitu:

1. Realita, ialah mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah kebenaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat menarik kesimpulan, bahwa pengetahuan yang dimiliki ini telah nyata. Realita atau kenyataan ini dipelajari oleh fisika dan metafisika, dalam system filsafat disebut ontology yaitu the study of the principles of reality.

2.Pengetahuan, yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis pengetahuan. Pengetahuan dipelajari oleh epistemology, yaitu the study of the principles of knowledge.

3. Nilai, yang dipelajari oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. pertanyaan-pertanyaan yang dicari jawabannya antara lain, seperti nilai-nilai bagaimanakah yang dikehendaki oleh manusia dan yang dapat digunakan sebagai dasar hidup, maka pembicaraan aksiologi adalah the study of the principles of value.

Sistem pemikiran filsafat di atas mengantarkan dalam pembahasan Teknologi Pendidikan tidak hanya berpandangan yang bersifat positivistik , tetapi juga memerlukan paradigma pascapositivistik. Berarti landasan filosofis sangat diperlukan dan menjadi penting dalam menjelaskan secara teori dan paktik masalah-masalah teknologi pendidikan (Anglin, ed., 1991).

  1. Ontologi

Obyek filsafat ialah segala sesuatu, meliputi kesemestaan. Scope filsafat yang amat luas dan tak terbatas obyeknya itu, perlu adanya pembidangan untuk intensifikasi penyelidikan. Pembidangan atau sistematika filsafat yang pertama adalah Ontologi.

Ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Metafisika ini disebut juga sebagai prote-filosifia atau filsafat pertama. Sebelum manusia menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakekat sesuatu. Manusia dalam antar aksinya dengan semesta raya, melahirkan pertanyaan=-pertanyaan filosofis. Apakah sesungguhnya hakekat realita yang ada ini. Apakah realita yang menampak ini suatu realita materi saja. Ataukah ada sesuatu di balik realita itu, suatu “rahasia” alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakekat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk atas satu unsure (monisme); atau dua unsur (dualisme). Ataukah lebih dari dua unsur, yakni serba banyak (pluralisme).

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan metafisis atau ontologism. Sesuatu realita sebagai suatu perwujudan menampakkan diri sebagai satu “tubuh”, satu eksistensi. Sesuatu itu mendukung satu perwujudan, yakni keseluruhan sifatnya; dan yang utama dari perwujudan itu adalah eksistensinya. Wujud atau adanya sesuatu adalah primer, sedang sifat-sifat yang lain adalah sekunder. Berarti eksistensi suatu realita adalah fundamental, sedang sifat-sifat yang lain adalah sesuatu yang accidental, atau suatu atribut saja. Ontologi bertolak atas penyelidikan tentang hakekat ada (existence and being) (Brameld, 1955: 28).

Pandangan ontology ini secara praktis akan menjadi masalah utaqma di dalam pendidikan. Sebab, siswa (peserta didik) bergaul dengan dunia lingkungan dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Oleh karena itu teknologi pendidikan dalam posisi ini sebagai bagian pengembangan untuk memudahkan hubungan siswa atau peserta didik dengan dunia lingkungannya. Peserta didik, baik di masyarakat atau di sekolah selalu menghadapi realita dan obyek pengalaman.

Melalui realita (ontologi), peserta didik secara sistematis dibina potensi berpikir kritis untuk mengerti kebenaran.Implikasi pandangan ontology di dalam pendidikan ialah bahwa dunia pengalaman manusia yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isisnya dalam arti sebagai pengalaman sehari-hari; melainkan sebagai suatu yang tak terbatas, realitas fisik, spiritual, yang tetap dan yang berubah-ubah (dinamis) (Runes, 1963: 219-230).

  1. Epistemologi dan Aksiologi

Sedemikian luas dan jauh, dunia pendidikan dianggap sebagai proses penyerahan kebudayaan pada umumnya, khususnya ilmu pengetahuan. Timbul pertanyaan, apakah sesungguhnya ilmu itu, dari mana sumber ilmu itu, bagaimana proses terjadinya dan sebagainya. Persoalan ini secara mendalam dibahas oleh epistemology. Epistemologi ialah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas, dan hakekat pengetahuan.

Dalam sebuah analisa mengenai filsafat, ilmu dan filsafat pendidikan dalam bukunya yang berjudul: Introduction to Philosophy of Education, Stella Van Petten Henderson (1964) mengemukakan, bahwa filsafat selalu berusaha untuk memahami segala sesuatu yang timbul dalam spectrum pengalaman manusia, dan berusaha untuk memperoleh pandangan yang luas (kompprehensif) mengenai alam, dan mampu memberikan penerangan yang universal mengenai hakekat benda-benda (segala sesuiatu).

Pandangan epistemology tentang pendidikan akan membahas banyak persoalan-persoalan pendidikan, seperti kurikulum, teori belajar, strategi pembelajaran, bahan atau sarana-prasarana yang mengantarkan terjadinya proses pendidikan, dan cara m,enentukan hasil pendidikan.

Berdasarkan pandangan tersebut diperlukan prisip tertentu apakah dianggap baik atau tidak isi dari pengetahuan tersebut, maka epistemology memerlukan pandanghan aksiologi. Aksiologi (axiology), suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Brameld (1955) membedakan tiga bagian, yaitu:

  1. Moral conduct, tidak moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.
  2. Esthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkan estetika.
  3. Socio-political life, kehidupan sosio-politik; bidang ini melahirkan filsafat sosio-politik.

Nilai dan implikasi aksiologi didalam pendidikan –di dalamnya teknologi pendidikan- ialah “to examine and integrate these values as they enter into the lives of people through the chanels of the schools (Brameld, 1955: 33). (Pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Dewey, John (1946)

Democracy and Education, The MacMillan Company, New

York.

Broudy, Harry S. (1961)

Building a Philosophy of Education,Prentice Hall, Inc.

New Jersey.

Inkeles, Alex and David H. Smith (1976)

Becoming Modern, Harvard University Press, USA.

Anglin, G.J; ed. (1991)

Intructional Technology: Past, Present, and Future,

Libraries Unlimited, Inc., Colorado.

Runes, Dagobert D. (1963)

Dictionary of Philosophy, Little Field Adams & Co,

New Jersey.

Henderson, Stella Van Petten (1964)

Introduction to Philosophy of Education, The Universi-

Ty of Chicago Press, Chicago.



[1] Dalam Alex Inkeles dan David H. Smith (1976), Becoming Modern, Harvard University Press

dalam kata pengantarnya menegaskan pentingnya pembaharuan dalam bidang pendidikan, baik landasannya, system strukturnya maupun pelaksanaanya. Hal ini berarti pembahasan Teknologi Pendidikan dalam perspektif filosofis menjadi sangat urgent.

0 Responses

Posting Komentar