Tampilkan postingan dengan label EVALUASI PEMBELAJARAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label EVALUASI PEMBELAJARAN. Tampilkan semua postingan
CHE
Pengajar, desain pembelajaran, dan peserta didik adalah 3 (tiga) hal yang selalu disebut saat kita ingin berbicara tentang proses pembelajaran. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya 3 (tiga) hal tersebutlah yang menjadi motor dalam pergerakan sebuah roda pembelajaran.
Pengajar disini dapat diartikan secara luas, apalagi dalam era internetisasi saat ini. Salah satu dampak yang ditimbulkannya pada dunia pendidikan adalah munculnya metode-metode pembelajaran secara elektronik (elearning atau online learning). Hal tersebut akhirnya berimbas pada cara guru dalam menyampaikan atau membahasakan materi di kelas, dari yang sebelumnya bertutur atau lisan menjadi tulisan. Namun demikian, peran guru atau pengajar di kelas tidak dapat tergantikan karena tidak semua peserta didik mampu belajar dan memahami materi secara mandiri. Untuk mengatasinya adalah dengan cara memblend antara metode klasikal dan elektronik (adanya hybrid instruction).
Menurut Gagne, Briggs, & Wager (dalam Prawiradilaga, 2007) desain pembelajaran membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi karena adanya kondisi-kondisi belajar, internal maupun eksternal. Tapi menurut Kemp, Morrison, & Ross (dalam Prawiradilaga, 2007) esensi disain pembelajaran mengacu pada keempat komponen inti, yaitu siswa, tujuan pembelajaran, metode, dan penilaian.

Peserta didik adalah semua individu yang menjadi audiens dalam suatu lingkup pembelajaran. Biasanya penyebutan peserta didik ini mengikuti skup/ruang lingkup dimana pembelajaran dilaksanakan, diantaranya : siswa untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, mahasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi, dan peserta pelatihan untuk diklat.
Peserta didik adalah masukan mentah (raw input) dalam sebuah proses pembelajaran yang harus dithreat agar output dan outcomesnya sesuai dengan yang dicanangkan institusi (khususnya) dan dunia pendidikan Indonesia pada umumnya. Agar keluarannya dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman, maka sudah sepatutnya materi dan cara pembelajarannyapun disesuaikan dengan dunia nyata juga. Hal tersebut biasa dikenal dengan model pembelajaran inovatif.
Penilaianpun juga sudah melakukan terobosan atau inovasi. Terbukti, saat ini paper and pen bukanlah satu-satunya cara untuk menilai keberhasilan belajar peserta didik. Asesmen portofolio, autentik, dan lain-lain adalah sedikit dari banyak inovasi cara menilai keberhasilan peserta didik yang lebih menitikberatkan pada proses.
A. Model Pembelajaran Inovatif
Model pembelajaran inovatif lahir dari adanya keresahan terhadap cara belajar klasikal. Dimana peserta didik tidak dapat terlibat aktif dalam hal intelektual maupun fisik. Karena itu, dirancanglah sebuah model pembelajaran yang bisa mengaktifkan seluruh indera dan intelektualitas peserta didiknya.
Yang termasuk ke dalam model pembelajaran inovatif adalah pembelajaran berbasis quantum teaching, pembelajaran berbasis multiple intelegencies, elearning, active learning, integrated learning, cooperative learning, pembelajaran berbasis sumber, konteksual learning, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Selanjutnya yang akan dibahas disini adalah hanya model pembelajaran inovatif berbasis elektronik (elearning) dan contextual learning.
1. Model Pembelajaran Berbasis Elektronik (Elearning)
a. Pengertian E-Learning
E-learning tersusun dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘electronica’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Jadi dalam pelaksanaannya, e-learning menggunakan jasa audio, video atau perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya. Dengan kata lain e-learning adalah pembelajaran yang dalam pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelite atau komputer.(Tafiardi, 2005). Sejalan dengan itu, Onno W. Purbo (dalam Amin, 2004) menjelaskan bahwa istilah “e” dalam e-learning adalah segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet. Internet, satelit, tape audio/video, tv interaktif, dan CD-ROM adalah sebagian dari media elektronik yang digunakan. Pengajaran boleh disampaikan pada waktu yang sama (synchronously) ataupun pada waktu yang berbeda (asynchronously).
Secara lebih singkat William Horton mengemukakan bahwa (dalam Sembel, 2004) e-learning merupakan kegiatan pembelajaran berbasis web (yang bisa diakses dari internet). Tidak jauh berbeda dengan itu Brown, 2000 dan Feasey, 2001 (dalam Siahaan, 2002) secara sederhana mengatakan bahwa e-learning merupakan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan (internet, LAN, WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan fasilitas yang didukung oleh berbagai bentuk layanan belajar lainnya.
Selain itu, ada yang menjabarkan pengertian e-learning lebih luas lagi. Sebenarnya materi e-learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet. Interaksi dengan menggunakan internetpun bisa dijalankan secara on-line dan real-time ataupun secara off-line atau archieved. Distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat dimana dia berada (Lukmana, 2006).
b. Karakteristik E-Learning
Karakteristik e-learning ini antara lain adalah:
1) Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. Guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah tanpa dibatasi oleh hal-hal yang bersifat protokoler.
2) Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan computer networks)
3) Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer sehingga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan di mana saja bila yang bersangkutan memerlukannya
4) Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.
c. Syarat-Syarat Penggunaan E-Learning
Menurut Newsletter of ODLQC, 2001 (dalam Siahaan) syarat-syarat kegiatan pembelajaran elektronik (e-learning) adalah :
1) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan dalam hal ini internet.
2) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta belajar, misalnya CD-ROM atau bahan cetak
3) tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila mengalami kesulitan
4) adanya lembaga yang menyelenggarakan/mengelola kegiatan e-learning
5) adanya sikap positif pendidik dan tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan internet
6) adanya rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/diketahui oleh setiap peserta belajar
7) adanya sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta belajar
8) adanya mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga penyelenggara
Berbeda dengan yang telah diungkapkan di atas, dalam Sembel, 2004, lebih menyoroti dari tenaga-tenaga ahli yang perlu ada untuk “menghidupkan” sebuah e-learning adalah :
1) Subject Matter Expert (SME), merupakan nara sumber dari pembelajaran yang disampaikan.
2) Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis mendesain materi dari SME menjadi materi e-learning dengan memasukkan metode pengajaran agar materi menjadi lebih interaktif, lebih mudah, dan lebih menarik untuk dipelajari.
3) Graphic Designer (GD), bertugas untuk mengubah materi teks menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout yang enak dipandang, efektif, dan menarik untuk dipelajari.
4) Learning Management System (LMS), bertugas mengelola sistem di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya, serta hal lain yang berhubungan dengan pembelajaran, seperti tugas, nilai, dan peringkat ketercapaian belajar siswa.
Ahli-ahli pendidikan dan ahli internet menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum seseorang memilih internet untuk kegiatan pembelajaran (Hartanto dan Purbo dalam Tafiardi, 2002) antara lain:
1) Analisis Kebutuhan (Need Analysis). Dalam tahapan awal, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah memang memerlukan e-learning. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan perkiraan atau dijawab berdasarkan atas saran orang lain. Setiap lembaga menentukan teknologi pembelajaran sendiri yang berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu diadakan analisis kebutuhan atau need analysis yang mencakup studi kelayakan baik secara teknis, ekonomis, maupun sosial.
2) Rancangan Instruksional yang berisi tentang isi pelajaran, topik, satuan kredit, bahan ajar/kurikulum.
3) Evaluasi yaitu sebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan dengan mengambil beberapa sampel orang yang dimintai tolong untuk ikut mengevaluasi.
d. Fungsi E-Learning
Setidaknya ada 3 (tiga) fungsi pembelajaran elektronik terhadap kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom instruction), yaitu (dalam Siahaan, 2002) :
1) suplemen (tambahan)
Dikatakan berfungsi sebagai suplemen, apabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran elektronik. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.
2) komplemen (pelengkap)
Dikatakan berfungsi sebagai komplemen, apabila materi e-learning diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima siswa di dalam kelas (Lewis, 2002). Sebagai komplemen berarti materi e-learning diprogramkan untuk menjadi materi enrichment (pengayaan) atau remedial bagi peserta didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.
Sebagai enrichment, apabila peserta didik dapat dengan cepat menguasai/memahami materi pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka diberikan kesempatan untuk mengakses materi e-learning yang memang secara khusus dikembangkan untuk mereka. Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan guru di kelas.
Sebagai remedial, apabila peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka di kelas. Tujuannya agar peserta didik semakin lebih mudah memahami materi pelajaran yang disajikan guru di kelas.
3) substitusi (pengganti)
Tujuan dari e-learning sebagai pengganti kelas konvensional adalah agar peserta didik dapat secara fleksibel mengelola kegiatan perkuliahan sesuai dengan waktu dan aktivitas lain sehari-hari. Ada 3 (tiga) alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat diikuti peserta didik : (1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional), (2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau bahkan (3) sepenuhnya melalui internet.
e. Manfaat E-Learning
E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/materi pelajaran. Peserta didik dapat saling berbagi informasi atau pendapat mengenai berbagai hal yang menyangkut pelajaran atau kebutuhan pengembangan diri peserta didik. Selain itu, guru dapat menempatkan bahan-bahan belajar dan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik di tempat tertentu di dalam web untuk di akses oleh peserta didik. Sesuai dengan kebutuhan, guru dapat pula memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengakses bahan belajar tertentu maupun soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh peserta didik sekali saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula (Website Kudos, 2002, dalam Siahaan).
Secara lebih rinci, manfaat e-learning dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu dari sudut peserta didik dan guru :
1) sudut peserta didik
Dengan kegiatan e-learning dimungkinkan berkembangnya fleksibilitas belajar yang tinggi. Menurut Brown, 2000 (dalam Siahaan) ini dapat mengatasi siswa yang (1) belajar di sekolah-sekolah kecil di daerah-daerah miskin untuk mengikuti mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diberikan oleh sekolahnya, (2) mengikuti program pendidikan keluarga di rumah (home schoolers) untuk mempelajari materi yang tidak dapat diajarkan oleh orang tuanya, seperti bahasa asing dan ketrampilan di bidang komputer, (3) merasa phobia dengan sekolah atau peserta didik yang di rawat di rumah sakit maupun di rumah, yang putus sekolah tapi berminat melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di berbagai daerah atau bahkan yang berada di luar negeri, dan (4) tidak tertampung di sekolah konvensional untuk mendapatkan pendidikan.
2) guru
Menurut Soekartawi (dalam Siahaan) beberapa manfaat yang diperoleh guru adalah bahwa guru dapat : (1) lebih mudah melakukan pemutakhiran bahan-bahan yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang terjadi, (2) mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna peningkatan wawasannya karena waktu luang yang dimiliki realtif lebih banyak, (3) mengontrol kegiatan belajar peserta didik. Bahkan guru juga dapat mengetahui kapan peserta didiknya belajar, topik apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topik dipelajari, serta berapa kali topik tertentu dipelajari ulang, (4) mengecek apakah peserta didik telah mengerjakan soal-soal latihan setelah mempelajari topik tertentu, dan (5) memeriksa jawaban peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepada peserta didik.
Dari berbagai pengalaman dan juga dari berbagai informasi yang tersedia di literatur, memberikan penjelasan tentang manfaat penggunaan internet, khususnya dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Soekartawi dalam Tafiardi, 2002 : 94-95), antara lain dapat disebutkan sbb:
a) Tersedianya fasilitas e-moderating. Guru dan siswa dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu.
b) Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan terjadwal melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari.
c) Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer.
d) Bila siswamemerlukan tambahan informasi berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah.
e) Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
f) Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif
g) Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi atau sekolah konvensional, bagi mereka yang sibuk bekerja, bagi mereka yang bertugas di kapal, di luar negeri, dsb-nya.
f. Kelebihan E-Learning
E-learning dapat dengan cepat diterima dan kemudian diadopsi adalah karena memiliki kelebihan/keunggulan sebagai berikut (Effendi, 2005)
1) Pengurangan biaya
2) Fleksibilitas. Dapat belajar kapan dan dimana saja, selama terhubung dengan internet.
3) Personalisasi. Siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan belajar mereka.
4) Standarisasi. Dengan e-learning mengatasi adanya perbedaan yang berasal dari guru, seperti : cara mengajarnya, materi dan penguasaan materi yang berbeda, sehingga memberikan standar kualitas yang lebih konsisten.
5) Efektivitas. Suatu studi oleh J.D Fletcher menunjukkan bahwa tingkat retensi dan aplikasi dari pelajaran melalui metode e-learning meningkat sebanyak 25 % dibandingkan pelatihan yang menggunakan cara tradisional
6) Kecepatan. Kecepatan distribusi materi pelajaran akan meningkat, karena pelajaran tersebut dapat dengan cepat disampaikan melalui internet.
g. Keterbatasan E-Learning
Terakhir yang harus diperhatikan masalah yang sering dihadapi yaitu:
1) Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti ketersediaan jaringan internet, listrik, telepon dan infrastruktur yang lain.
2) Masalah ketersediaan software (piranti lunak). Bagaimana mengusahakan piranti lunak yang tidak mahal.
3) Masalah dampaknya terhadap kurikulum yang ada.
4) Masalah skill and knowledge
Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan antara lain:
1) Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar.
2) Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis
3) Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan bukan pendidikan.
4) Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut menguasai teknik pembelajaran yang menggunakan internet.
5) Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar tinggi cenderung gagal
6) Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer).
7) Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan bidang internet dan kurangnya penguasaan bahasa komputer.
h. Kendala-Kendala
Kendala atau hambatan dalam penyelenggaraan e-learning, yaitu (Effendi, 2005) :
1) Investasi. Walaupun e-learning pada akhirnya dapat menghemat biaya pendidikan, akan tetapi memerlukan investasi yang sangat besar pada permulaannya.
2) Budaya. Pemanfaatan e-learning membutuhkan budaya belajar mandiri dan kebiasaan untuk belajar atau mengikuti pembelajaran melalui komputer.
3) Teknologi dan infrastruktur. E-learning membutuhkan perangkat komputer, jaringan handal, dan teknologi yang tepat.
4) Desain materi. Penyampaian materi melalui e-learning perlu dikemas dalam bentuk yang learner-centric. Saat ini masih sangat sedikit instructional designer yang berpengalaman dalam membuat suatu paket pelajaran e-learning yang memadai.
2. Model Pembelajaran Berbasis Konteks (Contextual and Teaching Learning (CTL))
Fenomena pembelajaran yang berkembang di lapangan adalah masih banyak pengajar yang mengajar hanya sekedar menyelesaikan materi tanpa memikirkan apakah yang diberikannya itu bermakna ataupun ada keterkaitan dengan dunia nyata. Yang mengakibatkan fenomena ini terjadi, salah satunya adalah karena banyaknya materi yang harus diselesaikan tetapi waktu yang tersedia kurang. Akibatnya, materi yang tersampaikan tidak ada yang terinternalisasi dalam diri peserta didik, kalau boleh dikatakan secara ekstrim adalah lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas apapun di kepala.
Beranjak dari fenomena itulah pembelajaran berbasis konteks atau CTL muncul. Intinya CTL adalah pembelajaran yang menggabungkan isi/materi dengan pengalaman harian individu, kehidupan di dalam masyarakat dan alam pekerjaan. Diharapkan dengan pembelajaran secara konteks, peserta didik dapat memahami materi secara konkrit. Dikatakan konkrit karena tangan dan “kepala” mereka ikut terlibat secara aktif dalam mempelajari dan memahami materi yang disampaikan. Hal ini biasa disebut dengan hands on and minds on activity.
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Suatu pembelajaran dikatakan CTL, jika didalamnya terdapat komponen-komponen sebagai berikut (dikdasmen) :
a. Konstruktivisme, dalam hal ini peserta didik dikondisikan agar mampu membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Jadi pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
b. Inquiry, disini peserta didik belajar mencari (melalui pengamatan) dan menemukan sendiri hal-hal yang harus diketahui dari sebuah topik yang disodorkan kehadapan mereka. Disini peserta didik belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
c. Questioning (Bertanya), dengan bertanya pengajar mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa terhadap topik/materi. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
d. Learning community (masyarakat belajar), disini peserta didik berkumpul dengan peergroupnya untuk saling berbagi ide, curah pendapat, dan tukar pengalaman. Masyarakat belajar sangat membantu sekali untuk mengokohkan pemahaman mereka terhadap pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya.
e. Modeling (pemodelan), tujuan adanya pemodelan adalah agar peserta didik mempunyai gambaran nyata tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Yang memberikan pemodelan ini biasanya adalah pengajarnya.
f. Reflection (refleksi), pada tahap ini peserta didik diminta untuk mencatat setiap kejadian yang telah mereka lalui, memikirkannya, dan merefleksikannya. Semua hal itu digunakan peserta didik untuk mengevaluasi pembelajaran yang telah mereka laksanakan.
g. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya), yaitu penilaian yang dilakukan tidak terbatas secara kognitif (melalui paper and pen test) saja, tapi lebih holistic, yaitu penilaian proses dan produknya. Apakah sudah relevan dan kontekstual ?
Segala hal yang telah dijabarkan di atas bila disintesiskan akan menghasilkan karakteristik CTL, sebagai berikut :
a. kerjasama
b. saling menunjang
c. menyenangkan, tidak membosankan
d. belajar dengan bergairah
e. pembelajaran terintegrasi
f. menggunakan berbagai sumber
g. siswa aktif
h. sharing dengan teman
i. siswa kritis guru kreatif
j. dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
k. laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain

Dari 2 (dua) model pembelajaran yang telah dijabarkan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk membelajarkan peserta didik dengan sesungguhnya belajar sangatlah sulit. Dibutuhkan pemikiran kritis, kreatif, dan mendalam untuk mewujudkannya.

B. Evaluasi Pembelajaran
Tidak lazim dan sayang rasanya bila model pembelajaran yang diberikan sangat inovatif, tapi cara penilaiannya masih biasa-biasa saja. Karena tes tradisional cenderung hanya mengukur kemampuan kogitif peserta didik saja dan terkadang hasil tes tersebut tidak murni (bila peserta didik menyontek). Padahal, dalam pembelajaran inovatif peserta didik dituntut untuk lebih berproses secara aktif dalam pembelajaran.
Evaluasi pembelajaran merupakan usaha-usaha terarah, terencana, dan sistematis untuk meneliti proses pembelajaran. Objek evaluasinya antara lain tujuan pembelajaran, perencanaan dan pengelolaan pembelajaran, serta penyelenggaraan evaluasi hasil belajar.
Evaluasi dikatakan penting karena mempunyai tujuan utama sebagai berikut (Gronlund, 2003) :
1. Feedback untuk peserta didik, dengan adanya evaluasi yang dilakukan secara berkala peserta didik menjadi tahu kelebihan dan keterbatasannya dalam memahami materi. Sebisa mungkin, feedback yang diberikan kepada peserta didik harus serinci mungkin, agar mereka dapat menilai apakah hasil yang mereka dapat memang karena kemampuan/pemahamannya atau hanya sekedar suatu kebetulan.
2. Feedback untuk guru, fungsi evaluasi terpenting bagi pengajar adalah untuk menilai seberapa efektifkah pembelajaran yang telah ia laksanakan ? Apakah peserta didik mampu menyerapnya ?
3. Informasi untuk orang tua, hasil dari tes yang telah dilaksanakan peserta didik menghasilkan skor yang dapat menggambarkan kemampuan mereka terhadap materi. Kumpulan-kumpulan angka tersebut dapat menginformasikan orang tua bagaimanakah kemampuan anaknya di sekolah.
4. Informasi untuk seleksi, biasanya skor yang didapat dari setiap evaluasi adalah untuk membuat keputusan/seleksi apakah peserta didik tersebut perlu remedial materi sampai dengan keputusan apakah peserta didik perlu tinggal kelas atau tidak ?
5. Informasi untuk akuntabilitas. Biasanya nilai/skor yang didapat siswa dapat digunakan pula untuk mengevaluasi guru, performansi sekolah oleh pihak-pihak terkait.
6. Evaluasi sebagai insentif, maksudnya evaluasi dapat berfungsi sebagai hadiah atas segala usaha yang telah dilakukan oleh peserta didik.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa model pembelajaran yang inovatif harus dinilai secara inovatif pula. Penilaian tersebut biasa dikenal dengan asesmen. Alasan mengapa pengajar menggunakan asesmen, karena asesmen dapat :
1. Mendiagnosis kelebihan dan kelemahan peserta didik
2. Memonitor kemajuan belajar peserta didik
3. Memberikan grade pada peserta didik
4. Memberikan batasan bagi efektivitas pengajaran
5. Mengevaluasi guru
6. Meningkatkan kualitas pengajaran
Berhubung penilaian/asesmen banyak ragamnya, maka penjabarannya dibatasi hanya pada asesmen autentik dan asesmen portofolio.
1. Asesmen Autentik
Adalah asesmen hasil belajar yang menuntut peserta didiknya dapat menunjukkan hasil belajar berupa kemampuan dalam kehidupan nyata, bukan sesuatu yang dibuat-buat atau yang hanya diperoleh di kelas, tetapi tidak dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, dalam hal ini peserta didik bukan memilih atau menjawab jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang sudah tersedia. Asesmen autentik sering disamakan dengan asesmen kinerja dan sebaliknya.
Asesmen kinerja setidak-tidaknya harus memiliki 3 (tiga) cirri utama, yaitu (Zainul, 2005) :
a. Multi kriteria, kinerja peserta didik harus dinilai dengan penilaian lebih dari satu kriteria. Misalkan kemampuan peserta didik dalam berbahasa Inggris harus memiliki dasar penilaian dari aspek aksen, sintaksis, dan kosa kata.
b. Standar kualitas yang spesifik (dalam artian tidak ambigu dan jelas), masing-masing kriteria kinerja peserta didik dapat dinilai secara jelas dan eksplisit dalam memajukan evaluasi kualitas kinerja peserta didik.
c. Adanya judgement penilaian, asesmen kinerja membutuhkan penilaian yang bersifat manusiawi untuk menilai bagaimana kinerja siswa dapat diterima secara nyata (real).



Berikut contoh-contoh tugas yang termasuk dalam asesmen autentik :
a. Computer adaptive testing (sepanjang tidak berbentuk objektif), yang menuntut peserta didik untuk mengekspresikan diri sehingga dapat menunjukkan tingkat kemampuan yang nyata
b. Tes pilihan ganda yang diperluas
c. Extended response atau open ended question (asal tidak hanya menuntut adanya satu jawaban “benar” yang terpola.
d. Group performance assessment, yaitu tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik secara berkelompok
e. Individual performance assessment, yaitu tugas yang harus diselesaikan secara mandiri
f. Interview, yaitu siswa harus merespon pertanyaan lisan dari pengajar
g. Nontraditional test items, yaitu butir soal yang tidak bersifat objektif tetapi merupakan suatu perangkat respon yang mengharuskan peserta didik memilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan
h. Observasi, meminta peserta didik melakukan suatu tugas. Selama melaksanakan peserta didik tersebut peserta didik diobservasi baik secara terbuka maupun tertutup.
i. Portofolio, suatu kumpulan hasil karya peserta didik yang disusun berdasarkan urutan waktu maupun urutan kategori kegiatan.
j. Project, exhibition, or demonstration, yaitu penyelesaian tugas-tugas yang kompleks dalam suatu jangka waktu tertentu yang dapat memperlihatkan penguasaan kemampuan sampai pada tingkatan tertentu pula
k. Short answer, open ended menuntut jawaban singkat dari siswa, tetapi bukan memilih jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang disediakan.
Asesmen autentik/kinerja memiliki dua bentuk utama yaitu tugas (task) dan skala penilaian (rubric). Tugas-tugas kinerja harus memperlihatkan kemampuan siswa menangani hal-hal yang kompleks melalui penerapan pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu dalam bentuk yang paling nyata. Sedangkan, rubric merupakan panduan untuk member skor yang jelas dan disepakati oleh peserta didik dan pengajar. Dengan bentuk asesmen autentik/kinerja ini diharapkan peserta didik dan pengajar ada upaya memperbaiki proses pembelajaran.

2. Asesmen Portofolio
Asesmen portofolio adalah asesmen yang terdiri dari kumpulan hasil karya peserta didik (bisa berasal dari asesmen autentik) yang disusun secara sistematik, sehingga menunjukkan dan membuktikan upaya, hasil, proses, dan kemajuan (progress) belajar yang dilakukan peserta didik dalam jangka waktu tertentu.
Portofolio bisa bertindak hanya sebagai koleksi/kumpulan hasil karya peserta didik, tetapi bisa juga bertindak sebagai asesmen. Hal yang harus diperhatikan, jika kita ingin menggunakan portofolio sebagai instrument asesmen adalah :
a. Hendaknya memiliki kriteria penilaian yang jelas
b. Informasi atau hasil karya yang didokumentasikan dapat berasal dari semua orang yang mengetahui peserta didik secara baik, seperti : guru, rekan sesama siswa, guru mata pelajaran lain, dan sebagainya
c. Dapat terdiri dari berbagai bentuk informasi, seperti : karangan, hasil lukisan, skor tes, foto hasil karya, dll
d. Kualitas portofolio harus senantiasa ditingkatkan dari waktu ke waktu berdasarkan hasil karya yang memenuhi kriteria
e. Setiap mata pelajaran mungkin mempunyai bentuk portofolio yang sangat berbeda dengan mata pelajaran lainnya
f. Harus terbuka bagi orang-orang yang secar langsung berkepentingan dengan hasil karya, seperti : guru, sekolah, orang tua siswa, dan siswa itu sendiri.
Setiap portofolio yang digunakan sebagai instrumen asesmen hasil belajar, secara langsung dapat dijadikan landasan pengembangan kegiatan pembelajaran berikutnya. Dengan demikian, portofolio dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan bagi pengajar maupun peserta didik.
Pada dasarnya asesmen portofolio memiliki 3 (tiga) prinsip, yaitu koleksi, seleksi, dan refleksi. Dalam implementasinya ketiga prinsip tersebut memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah yang harus dilalui dalam mengimplementasikan asesmen portofolio, yaitu :
a. Tahap persiapan
1) Mengidentifikasi atau menetapkan tujuan pembelajaran yang akan diases dengan asesmen portofolio
2) Menjelaskan kepada peserta didik bahwa akan dilaksanakan asesmen portofolio untuk mengases tujuan tertentu atau keseluruhan tujuan pembelajaran
3) Menjelaskan bagian mana dan seberapa banyak kinerja dan hasil karya yang secara minimal harus tercantum atau disertakan dalam portofolio, dalam bentuk apa, dan bagaimana kinerja atau hasil kerja itu akan diases
4) Menjelaskan bagaimana hasil karya tersebut harus disajikan

b. Tahap pelaksanaan
1) Guru mendorong dan memotivasi peserta didik
2) Guru melakukan pertemuan secara rutin dengan peserta didik guna mendiskusikan proses pembelajaran yang akan menghasilkan karya peserta didik, sehingga setiap langkah peserta didik dapat memperbaiki kelemahan yang mungkin terjadi
3) Memberikan umpan balik secara berkesinambungan kepada peserta didik
4) Memamerkan keseluruhan hasil karya yang disimpan dalam portofolio bersama-sama dengan karya keseluruhan peserta didik yang menjadi peserta mata pelajaran tersebut

c. Tahap penilaian
1) Menegakkan kriteria penilaian yang akan dilakukan bersama-sama atau partisipasi peserta didik
2) Kriteria yang disepakati diterapkan secara konsisten, baik oleh pengajar atau peserta didik
3) Arti terpenting dari tahap penilaian ini adalah self-assessment yang dilakukan oleh peserta didik, sehingga peserta didik menghayati dengan baik kekuatan dan kelemahannya
4) Hasil penilaian dijadikan tujuan baru bagi proses pembelajaran berikutnya.

C. Kesimpulan
Model pembelajaran dan evaluasi saling terkait satu sama lain. Model pembelajaran yang dilaksanakan akan semakin baik, bila dalam pengimplementasiannya selalu memperhatikan hasil evaluasi yang telah dilakukan. Jadi bisa dikatakan, evaluasi hadir salah satunya untuk menilai keberhasilan model pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Model pembelajaran yang baik adalah yang dapat mengakomodir dan mengaktifkan peserta didik (yang heterogen), baik dari segi fisik maupun intelektualitasnya. Begitu juga dengan cara penilaiannya, diharapkan menggunakan instrumen yang tidak hanya mengukur potensi kognitifnya saja.



D. Daftar Pustaka
Anonymous. Pengenalan pembelajaran secara kontekstual. http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn_pnp/modul_psv/09kontekstual.pdf. Diakses pada 23 Februari 2008 pada 12.57.
__________. Pembelajaran secara kontekstual. http://219.94.96.174/sainsmath2002/pedagogi%20ubahsuai/Kontekstual.pdf . Diakses 23 Februari 2008 pada 1.18 pm.
__________. Kaidah pembelajaran kontekstual. http://www.tutor.com.my/lada/tourism/edu-kontekstual.htm. Diakses 23 Februari 2008 pada 1.03 pm.
Dikdasmen. Pengembangan model pembelajaran yang efektif. http:// www.dikdasmen.org/files/KTSP/SMP/PENGEMMODEL%20PEMBEL%20YG%20EFEKTIF-SMP.doc. Diakses 23 Februari 2008 pada 1.00 pm.
Effendi, Empy, “E-Learning : Pelatihan di era informasi”, http://www.freshmindsgroup.com/resources/index.php?option=com_content&task=view/&i
Lukmana, Lukas, ”Dukungan industri software dalam implementasi e-Learning di dunia pendidikan”,
http://www.wahanakom.com/infotek/elearning.htm, dikunjungi 10 Juli 2006.
Prawiradilaga, Dewi Salma. Prinsip Disain Pembelajaran : Instructional Design Principles. Jakarta : Kencana, 2007.

Siahaan, Sudirman, “E-Learning (pembelajaran elektronik) sebagai salah Satu Alternatif Kegiatan Pembelajaran”, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/42/sudirman.htm, dikunjungi 16 Februari 2006.
______, “Penelitian penjajagan tentang kemungkinan pemanfaatan internet untuk pembelajaran di SLTA di wilayah jakarta dan sekitarnya”, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/39/Penelitian%20Penjajagan%20tentang.htm, dikunjungi 16 Februari 2006.
Tafiardi, “Meningkatkan mutu pendidikan melalui e-learning”, Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005,
http://www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/085-097.pdf, dikunjungi 10 Juli 2006
Zainul, Asmawi & Agus Mulyana. Tes dan Asesmen di SD. Jakarta : Universitas Terbuka, 2005.

CHE
Pengertian Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
Wiersma dan Jurs membedakan antara evaluasi, pengukuran dan testing. Mereka berpendapat bahwa evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukuran dan mungkin juga testing, yang juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Kedua pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas daripada pengukuran dan testing.
Ralph W. Tyler, yang dikutif oleh Brinkerhoff dkk. Mendefinisikan evaluasi sedikit berbeda. Ia menyatakan bahwa evaluation as the process of determining to what extent the educational objectives are actually being realized. Sementara Daniel Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Nana Syaodih S., menyatakan bahwa evaluation is the process of delinating, obtaining and providing useful information for judging decision alternatif. Demikian juga dengan Michael Scriven (1969) menyatakan evaluation is an observed value compared to some standard. Beberapa definisi terakhir ini menyoroti evaluasi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan dan pengolahan data.


Sementara itu Asmawi Zainul dan Noehi Nasution mengartikan pengukuran sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas, sedangkan penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun nontes. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Suharsimi Arikunto yang membedakan antara pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Arikunto menyatakan bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif. Hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif juga dikemukakan oleh Norman E. Gronlund (1971) yang menyatakan “Measurement is limited to quantitative descriptions of pupil behavior”
Pengertian penilaian yang ditekankan pada penentuan nilai suatu obyek juga dikemukakan oleh Nana Sudjana. Ia menyatakan bahwa penilaian adalah proses menentukan nilai suatu obyek dengan menggunakan ukuran atau kriteria tertentu, seperti Baik , Sedang, Jelek. Seperti juga halnya yang dikemukakan oleh Richard H. Lindeman (1967) “The assignment of one or a set of numbers to each of a set of person or objects according to certain established rules”
B. Tujuan Evaluasi
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu bahwa evaluasi dilaksanakan dengan berbagai tujuan. Khusus terkait dengan pembelajaran, evaluasi dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mendeskripsikan kemampuan belajar siswa.
2. mengetahui tingkat keberhasilan PBM
3. menentukan tindak lanjut hasil penilaian
4. memberikan pertanggung jawaban (accountability)
C. Fungsi Evaluasi
Sejalan dengan tujuan evaluasi di atas, evaluasi yang dilakukan juga memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah fungsi:
1. Selektif
2. Diagnostik
3. Penempatan
4. Pengukur keberhasilan
Selain keempat fungsi di atas Asmawi Zainul dan Noehi Nasution menyatakan masih ada fungsi-fungsi lain dari evaluasi pembelajaran, yaitu fungsi:
1. Remedial
2. Umpan balik
3. Memotivasi dan membimbing anak
4. Perbaikan kurikulum dan program pendidikan
5. Pengembangan ilmu
D. Manfaat Evaluasi
Secara umum manfaat yang dapat diambil dari kegiatan evaluasi dalam pembelajaran, yaitu :
1. Memahami sesuatu : mahasiswa (entry behavior, motivasi, dll), sarana dan prasarana, dan kondisi dosen
2. Membuat keputusan : kelanjutan program, penanganan “masalah”, dll
3. Meningkatkan kualitas PBM : komponen-komponen PBM
Sementara secara lebih khusus evaluasi akan memberi manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan pembelajaran, seperti siswa, guru, dan kepala sekolah.
Bagi Siswa
Mengetahui tingkat pencapaian tujuan pembelajaran : Memuaskan atau tidak memuaskan
Bagi Guru
1. mendeteksi siswa yang telah dan belum menguasai tujuan : melanjutkan, remedial atau pengayaan
2. ketepatan materi yang diberikan : jenis, lingkup, tingkat kesulitan, dll.
3. ketepatan metode yang digunakan
Bagi Sekolah
1. hasil belajar cermin kualitas sekolah
2. membuat program sekolah
3. pemenuhan standar
E. Macam-macam Evaluasi
1. Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan / topik, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Winkel menyatakan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa dan guru memperoleh informasi (feedback) mengenai kemajuan yang telah dicapai. Sementara Tesmer menyatakan formative evaluation is a judgement of the strengths and weakness of instruction in its developing stages, for purpose of revising the instruction to improve its effectiveness and appeal. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengontrol sampai seberapa jauh siswa telah menguasai materi yang diajarkan pada pokok bahasan tersebut. Wiersma menyatakan formative testing is done to monitor student progress over period of time. Ukuran keberhasilan atau kemajuan siswa dalam evaluasi ini adalah penguasaan kemampuan yang telah dirumuskan dalam rumusan tujuan (TIK) yang telah ditetapkan sebelumnya. TIK yang akan dicapai pada setiap pembahasan suatu pokok bahasan, dirumuskan dengan mengacu pada tingkat kematangan siswa. Artinya TIK dirumuskan dengan memperhatikan kemampuan awal anak dan tingkat kesulitan yang wajar yang diperkiran masih sangat mungkin dijangkau/ dikuasai dengan kemampuan yang dimiliki siswa. Dengan kata lain evaluasi formatif dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai. Dari hasil evaluasi ini akan diperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil dan siapa yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil tindakan-tindakan yang tepat. Tindak lanjut dari evaluasi ini adalah bagi para siswa yang belum berhasil maka akan diberikan remedial, yaitu bantuan khusus yang diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan memahami suatu pokok bahasan tertentu. Sementara bagi siswa yang telah berhasil akan melanjutkan pada topik berikutnya, bahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan yang lebih akan diberikan pengayaan, yaitu materi tambahan yang sifatnya perluasan dan pendalaman dari topik yang telah dibahas.
2. Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya. Winkel mendefinisikan evaluasi sumatif sebagai penggunaan tes-tes pada akhir suatu periode pengajaran tertentu, yang meliputi beberapa atau semua unit pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, bahkan setelah selesai pembahasan suatu bidang studi.
3. Diagnostik
Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, baik pada tahap awal, selama proses, maupun akhir pembelajaran. Pada tahap awal dilakukan terhadap calon siswa sebagai input. Dalam hal ini evaluasi diagnostik dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal atau pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai oleh siswa. Pada tahap proses evaluasi ini diperlukan untuk mengetahui bahan-bahan pelajaran mana yang masih belum dikuasai dengan baik, sehingga guru dapat memberi bantuan secara dini agar siswa tidak tertinggal terlalu jauh. Sementara pada tahap akhir evaluasi diagnostik ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa atas seluruh materi yang telah dipelajarinya.
Perbandingan Tes Diagnostik, Tes Formatif, dan Tes Sumatif
Ditinjau dari Tes Diagnostik Tes Formatif Tes Sumatif
Fungsinya mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuannya
menentukan kesulitan belajar yang dialami Umpan balik bagi siswa, guru maupun program untuk menilai pelaksanaan suatu unit program Memberi tanda telah mengikuti suatu program, dan menentukan posisi kemampuan siswa dibandingkan dengan anggota kelompoknya
cara memilih tujuan yang dievaluasi memilih tiap-tiap keterampilan prasarat
memilih tujuan setiap program pembelajaran secara berimbang
memilih yang berhubungan dengan tingkah laku fisik, mental dan perasaan Mengukur semua tujuan instruksional khusus Mengukur tujuan instruksional umum
Skoring (cara menyekor) menggunakan standar mutlak dan relatif menggunakan standar mutlak menggunakan standar relatif
F. Prinsip Evaluasi
Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan evaluasi, agar mendapat informasi yang akurat, diantaranya:
1. Dirancang secara jelas abilitas yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian, dan interpretasi hasil penilaian.  patokan : Kurikulum/silabi.
2. Penilaian hasil belajar menjadi bagian integral dalam proses belajar mengajar.
3. Agar hasil penilaian obyektif, gunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif.
4. Hasilnya hendaknya diikuti tindak lanjut.
Prinsip lain yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto adalah:
1. Penilaian hendaknya didasarkan pada hasil pengukuran yang komprehensif.
2. Harus dibedakan antara penskoran (scoring) dengan penilaian (grading)
3. Hendaknya disadari betul tujuan penggunaan pendekatan penilaian (PAP dan PAN)
4. Penilaian hendaknya merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar.
5. Penilaian harus bersifat komparabel.
6. Sistem penilaian yang digunakan hendaknya jelas bagi siswa dan guru.
G. Pendekatan Evaluasi
Ada dua jenis pendekatan penilaian yang dapat digunakan untuk menafsirkan sekor menjadi nilai. Kedua pendekatan ini memiliki tujuan, proses, standar dan juga akan menghasilkan nilai yang berbeda. Karena itulah pemilihan dengan tepat pendekatan yang akan digunakan menjadi penting. Kedua pendekatan itu adalah Pendekatan Acuan Norma (PAN) dan Pendekatan Acuan Patokan (PAP).
Sejalan dengan uraian di atas, Glaser (1963) yang dikutip oleh W. James Popham menyatakan bahwa terdapat dua strategi pengukuran yang mengarah pada dua perbedaan tujuan substansial, yaitu pengukuran acuan norma (NRM) yang berusaha menetapkan status relatif, dan pengukuran acuan kriteria (CRM) yang berusaha menetapkan status absolut. Sejalan dengan pendapat Glaser, Wiersma menyatakan norm-referenced interpretation is a relative interpretation based on an individual’s position with respect to some group. Glaser menggunakan konsep pengukuran acuan norma (Norm Reference Measurement / NRM) untuk menggambarkan tes prestasi siswa dengan menekankan pada tingkat ketajaman suatu pemahaman relatif siswa. Sedangkan untuk mengukur tes yang mengidentifikasi ketuntasan / ketidaktuntasan absolut siswa atas perilaku spesifik, menggunakan konsep pengukuran acuan kriteria (Criterion Reference Measurement).
1. Penilaian Acuan Patokan (PAP), Criterion Reference Test (CRT)
Tujuan penggunaan tes acuan patokan berfokus pada kelompok perilaku siswa yang khusus. Joesmani menyebutnya dengan didasarkan pada kriteria atau standard khusus. Dimaksudkan untuk mendapat gambaran yang jelas tentang performan peserta tes dengan tanpa memperhatikan bagaimana performan tersebut dibandingkan dengan performan yang lain. Dengan kata lain tes acuan kriteria digunakan untuk menyeleksi (secara pasti) status individual berkenaan dengan (mengenai) domain perilaku yang ditetapkan / dirumuskan dengan baik.
Pada pendekatan acuan patokan, standar performan yang digunakan adalah standar absolut. Semiawan menyebutnya sebagai standar mutu yang mutlak. Criterion-referenced interpretation is an absolut rather than relative interpetation, referenced to a defined body of learner behaviors. Dalam standar ini penentuan tingkatan (grade) didasarkan pada sekor-sekor yang telah ditetapkan sebelumnya dalam bentuk persentase. Untuk mendapatkan nilai A atau B, seorang siswa harus mendapatkan sekor tertentu sesuai dengan batas yang telah ditetapkan tanpa terpengaruh oleh performan (sekor) yang diperoleh siswa lain dalam kelasnya. Salah satu kelemahan dalam menggunakan standar absolut adalah sekor siswa bergantung pada tingkat kesulitan tes yang mereka terima. Artinya apabila tes yang diterima siswa mudah akan sangat mungkin para siswa mendapatkan nilai A atau B, dan sebaliknya apabila tes tersebut terlalu sulit untuk diselesaikan, maka kemungkinan untuk mendapat nilai A atau B menjadi sangat kecil. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan memperhatikan secara ketat tujuan yang akan diukur tingkat pencapaiannya.
Dalam menginterpretasi skor mentah menjadi nilai dengan menggunakan pendekatan PAP, maka terlebih dahulu ditentukan kriteria kelulusan dengan batas-batas nilai kelulusan. Umumnya kriteria nilai yang digunakan dalam bentuk rentang skor berikut:
Rentang Skor Nilai
80% s.d. 100% A
70% s.d. 79% B
60% s.d. 69% C
45% s.d. 59% D
< 44% E / Tidak lulus
2. Penilaian Acuan Norma (PAN), Norm Reference Test (NRT)
Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih umum dan komprehensif dan meliputi suatu bidang isi dan tugas belajar yang besar. Tes acuan norma dimaksudkan untuk mengetahui status peserta tes dalam hubungannya dengan performans kelompok peserta yang lain yang telah mengikuti tes. Tes acuan kriteria Perbedaan lain yang mendasar antara pendekatan acuan norma dan pendekatan acuan patokan adalah pada standar performan yang digunakan.
Pada pendekatan acuan norma standar performan yang digunakan bersifat relatif. Artinya tingkat performan seorang siswa ditetapkan berdasarkan pada posisi relatif dalam kelompoknya; Tinggi rendahnya performan seorang siswa sangat bergantung pada kondisi performan kelompoknya. Dengan kata lain standar pengukuran yang digunakan ialah norma kelompok. Salah satu keuntungan dari standar relatif ini adalah penempatan sekor (performan) siswa dilakukan tanpa memandang kesulitan suatu tes secara teliti. Kekurangan dari penggunaan standar relatif diantaranya adalah (1) dianggap tidak adil, karena bagi mereka yang berada di kelas yang memiliki sekor yang tinggi, harus berusaha mendapatkan sekor yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai A atau B. Situasi seperti ini menjadi baik bagi motivasi beberapa siswa. (2) standar relatif membuat terjadinya persaingan yang kurang sehat diantara para siswa, karena pada saat seorang atau sekelompok siswa mendapat nilai A akan mengurangi kesempatan pada yang lain untuk mendapatkannya.
Contoh:
7. Satu kelompok peserta tes terdiri dari 9 orang mendapat skor mentah:
50, 45, 45, 40, 40, 40, 35, 35, 30
Dengan menggunakan pendekatan PAN, maka peserta tes yang mendapat skor tertinggi (50) akan mendapat nilai tertinggi, misalnya 10, sedangkan mereka yang mendapat skor di bawahnya akan mendapat nilai secara proporsional, yaitu 9, 9, 8, 8, 8, 7, 7, 6
Penentuan nilai dengan skor di atas dapat juga dihitung terlebih dahulu persentase jawaban benar. Kemudian kepada persentase tertinggi diberikan nilai tertinggi.
8. Sekelompok mahasiswa terdiri dari 40 orang dalam satu ujian mendapat nilai mentah sebagai berikut:
55 43 39 38 37 35 34 32
52 43 40 37 36 35 34 30
49 43 40 37 36 35 34 28
48 42 40 37 35 34 33 22
46 39 38 37 36 34 32 21
Penyebaran skor tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
No Skor Mentah Jumlah Mahasiswa Jika 55 diberi nilai 10 maka
1 55 1 10,0
2 52 1 9,5
3 49 1 9,0
4 48 1 8,7
5 46 1 8,4
6 43 3 7,8
7 42 1 7,6
8 40 3 7,3
9 39 2 7,1
10 38 2 6,9
11 37 5 6,7
12 36 4 6,5
13 35 3 6,4
14 34 4 6,2
15 33 2 6,0
16 32 2 5,8
17 30 1 5,5
18 28 1 5,1
19 22 1 4,0
20 21 1 3,8
Jumlah Mahasiswa 40
Jika skor mentah yang paling tinggi (55) diberi nilai 10 maka nilai untuk :
52 adalah (52/55) x 10 = 9,5
49 adalah (49/55) x 10 = 9,0 dan seterusnya
9. Bila jumlah pesertanya ratusan, maka untuk memberi nilainya menggunakan statistik sederhana untuk menentukan besarnya skor rata-rata kelompok dan simpangan baku kelompok (mean dan standard deviation) sehingga akan terjadi penyebaran kemampuan menurut kurva normal.
Menurut distribusi kurva normal, sekelompok mahasiswa yang memiliki skor di atas rata-rata 60 dalam kelompok itu adalah:
60 sampai dengan (60 + 2 S.B.) adalah 34,13%
(60 + 1 S.B.) sampai dengan (60 + 2 S.B.) adalah 13,59%
(60 + 2 S.B.) sampai dengan (60 + 3 S.B.) adalah 2,14%
Begitu juga dengan mahasiswa yang memiliki skor 60 ke bawah, adalah:
60 sampai dengan (60 - 2 S.B.) adalah 34,13%
(60 - 1 S.B.) sampai dengan (60 - 2 S.B.) adalah 13,59%
(60 - 2 S.B.) sampai dengan (60 - 3 S.B.) adalah 2,14%
Dengan kata lain mahasiswa yang mendapat skor antara (+1 S.B. s.d. -1 S.B.) adalah 68,26%, yang mendapat skor (+2 S.B. s.d. -2 S.B.) adalah 95,44%.
Dengan demikian dapat dibuat tabel konversi skor mentah ke dalam nilai 1-10.
Skor Mentah Nilai 1 – 10
Skor rata-rata +2,25 S.B.
Skor rata-rata +1,75 S.B.
Skor rata-rata +1,25 S.B.
Skor rata-rata +0,75 S.B.
Skor rata-rata +0,25 S.B.
Skor rata-rata -0,25 S.B.
Skor rata-rata -0,75 S.B.
Skor rata-rata -1,25 S.B.
Skor rata-rata -1,75 S.B.
Skor rata-rata -2,25 S.B. 10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Catatan: mengacu pada kurikulum 1975

CHE
Evaluasi pembelajaran atau lebih tepat evaluasi program pembelajaran adalah suatu bentuk evaluasi program dalam bidang pendidikan. Program pembelajaran adalah salah satu jenis program pendidikan. Program pendidikan, program pembelajaran dan evaluasi program pembelajaran mempunyai hubungan yang sangat erat. Bila program pembelajaran dianggap sebagai suatu bentuk sistem, program pembelajaran terdiri atas komponen masukan (peserta didik, instrumental, dan lingkungan alami serta sosial); komponen proses pembelajaran (proses pembelajaran), dan komponen hasil pembelajaran.

PROGRAM PEMBELAJARAN














Gambar 1. Program Pembelajaran








Bila program pembelajaran dianggap sebagai suatu bentuk komunikasi program pembelajaran terdiri atas komponen komunikator (guru), komunikan (peserta didik), pesan (materi), sistem penyampaian, dan konteks. Objek evaluasi program pembelajaran atau evaluasi pembelajaran terdiri atas evaluasi terhadap komponennya yaitu evaluasi masukan, evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN














Gambar 2. Evaluasi Program Pembelajaran

Pembelajaran berarti proses interaksi antara peserta dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Siklus pembelajaran terdiri atas tiga tahap, yaitu perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran atau evaluasi hasil belajar.
Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara:
(a) membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru/dosen dengan standar proses
(b) mengidentifikasi kinerja guru/dosen dalam proses pembelajaran sesuai dengan kompetensi guru/dosen.
Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan kinerja guru/dosen dalam proses pembelajaran. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut :

SIKLUS PEMBELAJARAN












Gambar 3. Siklus Pembelajaran

II. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Evaluasi
Evaluasi menempati posisi yang sangat strategis dalam pembelajaran. Sedemikian penting evaluasi ini sehingga tidak ada satu pun usaha untuk memperbaiki mutu pembelajaran yang dapat dilakukan dengan baik tanpa disertai langkah evaluasi. Tetapi, manfaat evaluasi tidak hanya terbatas pada “peningkatan kualitas pembelajaran”, meskipun manfaat ini adalah manfaat yang terpenting. Adapun manfaat evaluasi pembelajaran yaitu :
1. Memahami sesuatu
Dalam hal ini, seorang dosen membutuhkan berbagai informasi tentang sesuatu agar proses perkuliahan atau yang akan dilakukan nanti akan berjalan secara optimal. Misalnya seorang dosen membutuhkan informasi yang cukup tentang calon mahasiswa yang akan diajarinya, agar dengan demikian ia mampu menentukan pengetahuan awal (entry behavior) yang dimiliki mahasiswa atau hal-hal lain secara tepat.
Pertanyaan-pertanyaan evaluasi yang relevan diajukan, antara lain:
a. Apakah mahasiswa sudah cukup menguasai beberapa mata kuliah yang menjadi prasyarat mata kuliah yang saya asuh ini?
b. Berapa banyak mahasiswa yang memiliki cukup fasilitas yang disyaratkan oleh mata kuliah ini?
c. Bagaimana tingkat motivasi mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah ini? Mengapa mereka mengambil mata kuliah ini, dan bukan mata kuliah yang lain?
Dosen mungkin juga melakukan evaluasi terhadap keberadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam perkuliahan. Dalam hal ini beberapa contoh pertanyaan evaluasi
a. Apakah bahan-bahan yang akan dipakai dalam praktek laboratorium nanti sudah tersedia dalam jumlah yang cukup?
b. Apakah ukuran ruang kuliah sebanding dengan jumlah mahasiswa yang mendaftar dalam mata kuliah ini? Apakah saya akan bertalian dengan perkuliahan yang acak-acakan dan tak terkontrcl ini sampai akhir semester nanti?
c. Apakah OHT vans selama ini saya gunakan tidak perlu diperbaiki?
Kadangkala, dosen juga merasa perlu memahami dirinya sendiri. Dosen, misalnya, dapat mengajukan beberapa pertanyaan seperti berikut ini:
a. Apakah ada hal-hal yang perlu saya lakukan untuk meningkatkan diri saya sebagai dosen?
b. Apakah perkuliahan berikutnya ini akan sama saja dengan perkuliahan yang sudah saya lakukan selama 15 tahun terakhir ini?
c. Apakah persiapan saya dalam semester berikut ini sudah cukup memadai?
2. Membuat Keputusan
Yang lebih sering terjadi, seorang dosen melakukan evaluasi proses pembelajaran hanya setelah perkuliahan itu sendiri selesai akhir semester. Ini pun tidak ada salahnya dan bahkan sangat dianjurkan dilakukan untuk kepentingan peningkatan kualitas evaluasi proses pembelajaran di perkuliahan berikutnya. Beberapa contoh pertanyaan yang biasa diajukan dosen adalah:
a. Bagaimana pendapat mahasiswa terhadap PBM selama satu semester ini?
b. Apakah PBM selama satu semester ini sesuai dengan rencana PBM yang sudah saya buat di awal semester? Jika ada perubahan, apakah bentuk perubahan itu dan mengapa terpaksa berubah?
c. Apakah tim dosen dalam mata kuliah ini telah bekerja dengan baik dan kompak?
Semua jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat digunakan sebagai masukan untuk membuat keputusan seperti, misalnya, apakah tim dosen yang sekarang ini ada perlu diperbaiki formasinya, apakah strategi PBM yang selama ini dipakai perlu diganti dengan yang lain, atau apakah cara mengajar dosen perlu diubah.
3. Meningkatkan kualitas pembelajaran
Sebagian atau seluruh hasil evaluasi akhir semester ini biasanya digunakan sebagai bahan renungan evaluasi untuk memperbaiki PBM di perkuliahan berikutnya. Pertanyaan¬pertanyaan yang penting diajukan antara lain:
a. Dua puluh persen mahasiswa temyata gagal lulus dalam mata kuliah ini. Apa penyebabnya?
b. Sebagian besar mahasiswa (rnelalui jawaban kuesioner) mengatakan bahwa saya sangat menguasai materi perkuliahan. Tetapi, sebagian besar dari mereka juga mengatakan bahwa cara mengajar saya kurang sistematis. Benarkah kesimpulan mahasiswa ini? Jika benar, bagian perkuliahan yang mana yang tidak sistematis?
c. Mahasiswa mengatakan bahwa saya tidak menggunakan media instruksional dengan baik. Apa yang perlu saya lakukan untuk memperbaiki keadaan ini

B. OBJEK EVALUASI
Secara lengkap, suatu proses pembelajaran mencakup tiga komponen, yaitu masukan (input), proses, dan keluaran (output). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut:



MASUKAN PROSES KELUARAN
(INPUT) (PROSESS) (OUTPUT)




MAHASISWA PELAKSANAA STRATEGI PEMB HASIL BELAJAR
MATERI PERKULIAHAN MEDIA PEMBELAJARAN
SARANA PERKULIAHAN CARA DOSEN MENGAJAR
DOSEN CARA MAHASISWA BELAJAR
KURIKULUM
RENCANA STRATEGI
PERKULIAHAN


Contoh-contoh hal (objek) yang perlu dievaluasi yang termasuk input adalah:
1. Mahasiswa (Bagaimana entry behavior yang dimiliki mahasiswa?)
2. Materi perkuliahan (Apakah bahan perkuliahan yang akan digunakan dalam mata kuliah ini cukup relevan dan mutakhir atau up-to-date?)
3. Sarana perkuliahan (Apakah ruang kuliah cukup memadai? Apakah bahan-bahan dan alat-alat praktek sudah tersedia?
4. Dosen (Apakah semua anggota tim dosen sudah memahami tugas dan kewajiban mereka dalam mata kuliah ini?)
5. Kurikulum (Apakah isi Garis-garis Besar Program Pengajaran tidak perlu direvisi?)
6. Strategi perkuliahan (Strategi apakah yang paling cocok untuk mata kuliah ini?)

Contoh-contoh hal (objek) yang perlu dievaluasi yang termasuk prosess adalah:
1. Strategi perkuliahan (Apakah strategi digunakan dalam mata kuliah ini telah terbukti efektif?)
2. Media instruksional (Apakah media yang ada telah dimanfaatkan secara optimal?)
3. Cara mengajar dosen (Apakah cara mengajar dosen dalam mata kuliah ini telah berhasil membantu mahasiswa belajar secara baik?)
4. Cara belajar mahasiswa (Apakah cara belajar mahasiswa dalam mata kuliah ini efektif?)

Objek evaluasi yang termasuk. dalam komponen output adalah hasil belajar mahasiswa (Bagaimana prestasi mahasiswa dalam mata kuliah ini?). Dalam hal ini, evaluasi terhadap komponen terakhir ini lazimnya diperlakukan terpisah dari objek evaluasi lainnya. Evaluasi terhadap output 'PBM adalah evaluasi hasil belajar mahasiswa dan lazim disebut sebagai "Tes dan pengukuran hasil belajar".









C. PROSES EVALUASI










Gambar 4. Meta Evaluasi

1. Tahap pertama: Penentuan Tujuan
Pada tahap pertama ini, semua tujuan evaluasi ditentukan. Proses ini sangat penting sebab tahap inilah yang akan sangat menentukan corak dan proses evaluasi secara keseluruhan. Dengan tujuan-tujuan yang jelas dan rinci, maka langkah-langkah berikutnya dapat dengan mudah diramalkan siapa yang akan melaksanakan apa, kapan, dan bagaimana.
Formulasi tujuan ini tidak harus selalu berbentuk pernyataan, tapi bisa juga dalam bentuk pertanyaan. Yang penting, tujuan-tujuan itu hams jelas sedemikian rupa sehingga tujuan-tujuan itu mampu 'menjelaskan sendiri'. Dalam bahasa yang lebih teknis, tujuan-tujuan itu harus terjabarkan dalam bahasa dan langkah operasional sehingga mudah dipahami, dilaksanakan dan diukur.
Beberapa contoh tujuan evaluasi :
q Bagaimana persepsi mahasiswa terhadap kemampuan dosen dalam hal menyelenggarakan PBM?
q Menurut mahasiswa dan rekan-rekan dosen, apakah media yang saya gunakan dalam PBM selama ini sudah sesuai dengan kebutuhan, serta efisien-efektif?
q Evaluasi iui bertujuan untuk mengukur efektivitas metode diskusi kelorupok yang telah digunakan dalam tiga minggu pertama semester ini.
q Tujuan evaluasi ini adalah untuk mencari masukan dari administrator, rekan dosen, dan mahasiswa tentang masalah-masalah yang biasa muncul dalam kegiatan KKN.
Untuk memudahkan pekerjaan, baik juga kita membuat suatu matriks yang berisi informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan tahap penentuan tujuan ini. Pada tahap ini, matriks yang dimaksud hanya berisi tiga kolom, yaitu kolom nomor, informasi yang dibutuhkan, dan indikator. Contohnya adalah sebagai berikut:

Rencana Evaluasi

No Informasi yang dibutuhkan Indikator
1 Persepsi mahasiswa terhadap kemampuan staf pengajar dalam proses pembelajaran • Penguasaan staf pengajar terhadap materi pembelajaran
• Kemampuan staf pengajar dalam menjelaskan materi pembelajaran
• Kemampuan staf pengajar dalam menggunakan media pembelajaran
• Kemampuan staf pengajar dalam membangkitkan motivasi dan respon mahasiswa
Tabel. 1 Rencana Evaluasi

2. Tahap Kedua: Desain Evaluasi
Jika tujuan-tujuan evaluasi sudah ditentukan, maka tahap berilr.utnya, pe,ancangan (desain) evaluasi mulai dilakukan. Pada tahap ini, dua hal ditentukan, yakni pendekatan evaluasi apa yang paling tepat agar tujuan-tujuan evaluasi yang sudah ditentukan dapat tercapai secata optimal dan siapa yang akan melakukan evaluasi.
Dalam hal siapa yang akan melakukan evaluasi ini, bisa dilakukan oleh orang luar (external evaluator) atau orang dalam (internal evaluator) dengan keuntungan dan kerugiannya sendiri-sendiri. Jika evaluasi dilakukan oleh orang luar (konsultan, ahli evaluasi yang disewa, dosen lain, mahasiswa dan sebagainya), ada kemungkinan proses evaluasi akan berjalan secara lebih objektif dan akan menelorkan hasil-hasil yang lebih objektif pula. Kerugiannya, proses evaluasi mungkin akan berjalan lebih lama dan bertele-tele.
Jika orang dalam (misalnya dosen itu sendiri) yang mengadakan evaluasi, ada kemungkinan proses evaluasi akan lebih cepat dilakukan dan lebih sedikit memakan biaya. Tapi proses ini mungkin akan menelorkan hasil-hasil yang lebih subjektif. Apalagi jika evaluatornya adalah mereka yang mempunyai vested interest tertentu, maka besar kemungkinan mereka akan melaporkan kebenaran yang kira-¬kira tidak akan menimbulkan ekses negatif. Untuk mengurangi beberapa kelemahan yang ada, biasanya orang dalam dan orang luar dipakai bersama-sama.
Selain itu, pada tahap kedua ini pula waktu (penjadwalan) pelaksanaan evaluasi, strategi (tehnik dan instrumen lintuk mengumpulka, data), serta anggaran yang dibutuhkan perlu dirancang/ditetapkan.

3. Tahap Ketiga: Pengembangan Instrumen Evaluasi
Setelah tujuan evaluasi ditentukan, dan desain umumnya sudah diselesaikan, tahap selanjutnya adalah membuat instrurnennya. Dalam hal ini setidaknya ada empat macarn instrumen yang selarna ini lazim digunakan dalam suatu evaluasi PBM, yakni kuesioner, interviu, observasi, dan reviu dokumen.
Kuesioner dan interviu pada dasamya sama. Kedua istilah ini digunakan hanya untuk membedakan bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner cenderung tertutup dan terstruktur, sedangkan pertanyaan-pertanyaan interviu biasanya terbuka dan fleksibel (walaupun interviu yang sangat terstruktur, dan karena itu tidak fleksibel, juga ada). Observasi atau pengamatan sudah cukup populer. Sedangkan reviu dokumen adalah cara menggali informasi dengan jalan meneliti berbagai dokumen (kurikulum, buku teks, rencana mengajar, peraturar-peraturan tertulis dan sebagainya).

4. Tahap Keempat: Pengumpulan Data
Data atau informasi bisa terkumpul hanya jika sumber informasi itu mau memberikan informasinya kepada evaluator. Dan hal ini tergantung pula pada macam informasi yang hendak dikumpulkan. Ada informasi deskriptif seperti peraturan-peraturan, kebijakan, rencana, dan sebagainya, yang kesemuanya secara objektif sudah ada. Tapi ada pula jenis informasi judgemental (penilaian) seperti pendapat, kepercayaan, nilai-nilai yang dianut, dan sebagainya, yang kesemuanya itu lebih bersifat subjektif dan karena itu biasanya lebih sulit diungkapkan (karena berbagai alasan).
Untuk mempermudah proses pengumpulan data, beberapa hal yang harus dicek kembali adalah:
 Responden (Siapa yang akan menjadi responden-nya? Jika responden perlu diberitahu tentang evaluasi ini, apakah mereka sudah diberitahu? ).
 Instrumen (Apakah instrumen sudah sejalan dengan tujuan evaluasi? Apakah instrumen sudah dirancang dengan baik? Apakah instrumen sudah diperbanyak sesuai dengan jumlah responden? Dst.)
 Tempat dan waktu (Apakah tempat dan waktu evaluasi sudah ditentukan dengan cerrnat agar proses pengumpulan data beijalan secara optimal? Jika tempat dan waktu terpaksa harus diubah, apakah responden sudah diberitahu perubahan tersebut? Apakah perubahan ini mempunyai pengaruh terhadap data yang dibutuhkan?)

5. Tahap Kelima: Analisis dan Interpretasi Data
Langkah berikutnya adalah menganalisis dan menafsirkan data yang terkumpul. Dengan adanya berbagai program komputer untuk menganalisis data, proses analisis data dapat dilakukan dengan lebih cepat dan Iebih mudah. Meskipun demikian, tingkat kerumitan analisis dan interpretasi data juga tergantung dar keluasan tujuan evaluasi ciLn kerumitan instrumer.. Jika tujuan evaluasi sangat sederhana, dan instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data juga sangat sederhana, maka analisis dan interpretasi data juga akan sangat sederhana.
Jika masalahnya cukup rumit, sedangkan sarana pemrosesan data seperti program komputer tidak tersedia. maka proses analisis ini mungkin akan memakan waktu yang lama karena semua perhitungan harus dikerjakan secara manual. Tetapi, jika program komputer untuk menganalisis data tersedia, maka proses data akan berlangsung cepat dan (biasanya) lebih teliti.

6. Tahap Keenam: Tindak Lanjut
Sedikitnya ada tiga hal yang dapat dilakukan setelah proses evaluasi selesai dilaksanakan, yaitu: (1) melaporkan hasil evaluasi, (2) mengambil keputusan instruksional, dan (3) mengadakan meta evaluasi.
Adakalanya hasil evaluasi harus dilaporkan, adakalanya tidak. Jika hasil evaluasi harus dilaporkan, maka harus ditentukan bagaimana dan kepada siapa hasil-hasil itu dilaporkan. Proses ini tidak selalu mudah dilakukan. Kalau pun tidak sukar menentukan bagaimana, seringkali tidak mudah menentukan apa yang perlu dilaporkan dan kepada siapa laporan itu ditujukan. Beberapa informasi mungkin harus diketahui oleh beberapa orang seperti Dekan, Ketua Jurusan, dsb. Tapi informasi yang sama mungkin tidak ada gunanya diketahui oleh personil yang mempunyai tingkatan jabatan lebih rendah dari itu. Sebuah informasi mungkin terlalu sensitif jika diumumkan secara terbuka, tapi informasi yang lain justru harus diumumkan secara terbuka.
Kemungkinan kegiatan tindak lanjut kedua adalah mengambil keputusan instruksional. Misalnya saja, jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa suatu metode pengajaran tertentu ternyata tidak efektif, maka evaluator seyoganya mengambil tindakan yang perlu untuk memperbaiki kekurangan yang ada, jika perlu mengganti sama sekali metode yang tidak efektif itu dengan metode lain.
Akhirnya, evaluasi pun perlu dievaluasi. Evaluasi terhadap evaluasi inilah yang, disebut meta evaluasi. Dalam hal ini, perlu dijawab apakah proses evaluasi telah berjalan sesuai dengan rencana, apakah semua tujuan evaluasi sudah tercapai, dan sebagainya. Dalam hal ini pun organisasi bisa menugaskan orang luar atau orang dalam untuk mengadakan meta evaluasi. Dari semua langkah dalam proses evaluasi, langkah terakhir inilah yang paling jarang dilakukan.

III. KESIMPULAN
Evaluasi proses pembelajaran merupakan merupakan salah satu bagian penting dari evaluasi program pembelajaran. Evaluasi proses pembelajaran penting dilaksanakan untuk memahami sesuatu, meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan membuat keputusan. Sedangkan yang menjadi objek evaluasi yaitu (input), proses, dan keluaran (output).
Dalam melaksanakan evaluasi program pembelajaran terdapat enam tahapan yaitu:
1. Penentuan Tujuan
2. Desain evaluasi
3. Pengembangan Instrumen
4. Pengumpulan Data
5. Analisis dan Interpretasi Data
6. Tindak Lanjut

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1999. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
http://www.uksw.edu/evaluasi.html/ dikunjungi 8 Mei 2007.
http://blogpersimpangan.com/evaluasihasilbelajar.html/ dikunjungi 8 Mei 2007.
Prasetyo Irawan. 2001. Evaluasi Proses belajar Mengajar. UT. Jakarta.
Sukardjo. 2008. Handout Mata kuliah Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarata.

CHE
A. Pengertian Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
Wiersma dan Jurs membedakan antara evaluasi, pengukuran dan testing. Mereka berpendapat bahwa evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukuran dan mungkin juga testing, yang juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Kedua pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas daripada pengukuran dan testing.

Ralph W. Tyler, yang dikutif oleh Brinkerhoff dkk. Mendefinisikan evaluasi sedikit berbeda. Ia menyatakan bahwa evaluation as the process of determining to what extent the educational objectives are actually being realized. Sementara Daniel Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Nana Syaodih S., menyatakan bahwa evaluation is the process of delinating, obtaining and providing useful information for judging decision alternatif. Demikian juga dengan Michael Scriven (1969) menyatakan evaluation is an observed value compared to some standard. Beberapa definisi terakhir ini menyoroti evaluasi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan dan pengolahan data.
Sementara itu Asmawi Zainul dan Noehi Nasution mengartikan pengukuran sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas, sedangkan penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun nontes. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Suharsimi Arikunto yang membedakan antara pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Arikunto menyatakan bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif. Hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif juga dikemukakan oleh Norman E. Gronlund (1971) yang menyatakan “Measurement is limited to quantitative descriptions of pupil behavior”
Pengertian penilaian yang ditekankan pada penentuan nilai suatu obyek juga dikemukakan oleh Nana Sudjana. Ia menyatakan bahwa penilaian adalah proses menentukan nilai suatu obyek dengan menggunakan ukuran atau kriteria tertentu, seperti Baik , Sedang, Jelek. Seperti juga halnya yang dikemukakan oleh Richard H. Lindeman (1967) “The assignment of one or a set of numbers to each of a set of person or objects according to certain established rules”
B. Tujuan Evaluasi
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu bahwa evaluasi dilaksanakan dengan berbagai tujuan. Khusus terkait dengan pembelajaran, evaluasi dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mendeskripsikan kemampuan belajar siswa.
2. mengetahui tingkat keberhasilan PBM
3. menentukan tindak lanjut hasil penilaian
4. memberikan pertanggung jawaban (accountability)
C. Fungsi Evaluasi
Sejalan dengan tujuan evaluasi di atas, evaluasi yang dilakukan juga memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah fungsi:
1. Selektif
2. Diagnostik
3. Penempatan
4. Pengukur keberhasilan
Selain keempat fungsi di atas Asmawi Zainul dan Noehi Nasution menyatakan masih ada fungsi-fungsi lain dari evaluasi pembelajaran, yaitu fungsi:
1. Remedial
2. Umpan balik
3. Memotivasi dan membimbing anak
4. Perbaikan kurikulum dan program pendidikan
5. Pengembangan ilmu
D. Manfaat Evaluasi
Secara umum manfaat yang dapat diambil dari kegiatan evaluasi dalam pembelajaran, yaitu :
1. Memahami sesuatu : mahasiswa (entry behavior, motivasi, dll), sarana dan prasarana, dan kondisi dosen
2. Membuat keputusan : kelanjutan program, penanganan “masalah”, dll
3. Meningkatkan kualitas PBM : komponen-komponen PBM
Sementara secara lebih khusus evaluasi akan memberi manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan pembelajaran, seperti siswa, guru, dan kepala sekolah.
Bagi Siswa
Mengetahui tingkat pencapaian tujuan pembelajaran : Memuaskan atau tidak memuaskan
Bagi Guru
1. mendeteksi siswa yang telah dan belum menguasai tujuan : melanjutkan, remedial atau pengayaan
2. ketepatan materi yang diberikan : jenis, lingkup, tingkat kesulitan, dll.
3. ketepatan metode yang digunakan
Bagi Sekolah
1. hasil belajar cermin kualitas sekolah
2. membuat program sekolah
3. pemenuhan standar
E. Macam-macam Evaluasi
1. Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan / topik, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Winkel menyatakan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa dan guru memperoleh informasi (feedback) mengenai kemajuan yang telah dicapai. Sementara Tesmer menyatakan formative evaluation is a judgement of the strengths and weakness of instruction in its developing stages, for purpose of revising the instruction to improve its effectiveness and appeal. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengontrol sampai seberapa jauh siswa telah menguasai materi yang diajarkan pada pokok bahasan tersebut. Wiersma menyatakan formative testing is done to monitor student progress over period of time. Ukuran keberhasilan atau kemajuan siswa dalam evaluasi ini adalah penguasaan kemampuan yang telah dirumuskan dalam rumusan tujuan (TIK) yang telah ditetapkan sebelumnya. TIK yang akan dicapai pada setiap pembahasan suatu pokok bahasan, dirumuskan dengan mengacu pada tingkat kematangan siswa. Artinya TIK dirumuskan dengan memperhatikan kemampuan awal anak dan tingkat kesulitan yang wajar yang diperkiran masih sangat mungkin dijangkau/ dikuasai dengan kemampuan yang dimiliki siswa. Dengan kata lain evaluasi formatif dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai. Dari hasil evaluasi ini akan diperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil dan siapa yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil tindakan-tindakan yang tepat. Tindak lanjut dari evaluasi ini adalah bagi para siswa yang belum berhasil maka akan diberikan remedial, yaitu bantuan khusus yang diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan memahami suatu pokok bahasan tertentu. Sementara bagi siswa yang telah berhasil akan melanjutkan pada topik berikutnya, bahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan yang lebih akan diberikan pengayaan, yaitu materi tambahan yang sifatnya perluasan dan pendalaman dari topik yang telah dibahas.
2. Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya. Winkel mendefinisikan evaluasi sumatif sebagai penggunaan tes-tes pada akhir suatu periode pengajaran tertentu, yang meliputi beberapa atau semua unit pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, bahkan setelah selesai pembahasan suatu bidang studi.
3. Diagnostik
Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, baik pada tahap awal, selama proses, maupun akhir pembelajaran. Pada tahap awal dilakukan terhadap calon siswa sebagai input. Dalam hal ini evaluasi diagnostik dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal atau pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai oleh siswa. Pada tahap proses evaluasi ini diperlukan untuk mengetahui bahan-bahan pelajaran mana yang masih belum dikuasai dengan baik, sehingga guru dapat memberi bantuan secara dini agar siswa tidak tertinggal terlalu jauh. Sementara pada tahap akhir evaluasi diagnostik ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa atas seluruh materi yang telah dipelajarinya.
Perbandingan Tes Diagnostik, Tes Formatif, dan Tes Sumatif
Ditinjau dari Tes Diagnostik Tes Formatif Tes Sumatif
Fungsinya mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuannya
menentukan kesulitan belajar yang dialami Umpan balik bagi siswa, guru maupun program untuk menilai pelaksanaan suatu unit program Memberi tanda telah mengikuti suatu program, dan menentukan posisi kemampuan siswa dibandingkan dengan anggota kelompoknya
cara memilih tujuan yang dievaluasi memilih tiap-tiap keterampilan prasarat
memilih tujuan setiap program pembelajaran secara berimbang
memilih yang berhubungan dengan tingkah laku fisik, mental dan perasaan Mengukur semua tujuan instruksional khusus Mengukur tujuan instruksional umum
Skoring (cara menyekor) menggunakan standar mutlak dan relatif menggunakan standar mutlak menggunakan standar relatif
F. Prinsip Evaluasi
Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan evaluasi, agar mendapat informasi yang akurat, diantaranya:
1. Dirancang secara jelas abilitas yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian, dan interpretasi hasil penilaian.  patokan : Kurikulum/silabi.
2. Penilaian hasil belajar menjadi bagian integral dalam proses belajar mengajar.
3. Agar hasil penilaian obyektif, gunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif.
4. Hasilnya hendaknya diikuti tindak lanjut.
Prinsip lain yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto adalah:
1. Penilaian hendaknya didasarkan pada hasil pengukuran yang komprehensif.
2. Harus dibedakan antara penskoran (scoring) dengan penilaian (grading)
3. Hendaknya disadari betul tujuan penggunaan pendekatan penilaian (PAP dan PAN)
4. Penilaian hendaknya merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar.
5. Penilaian harus bersifat komparabel.
6. Sistem penilaian yang digunakan hendaknya jelas bagi siswa dan guru.
G. Pendekatan Evaluasi
Ada dua jenis pendekatan penilaian yang dapat digunakan untuk menafsirkan sekor menjadi nilai. Kedua pendekatan ini memiliki tujuan, proses, standar dan juga akan menghasilkan nilai yang berbeda. Karena itulah pemilihan dengan tepat pendekatan yang akan digunakan menjadi penting. Kedua pendekatan itu adalah Pendekatan Acuan Norma (PAN) dan Pendekatan Acuan Patokan (PAP).
Sejalan dengan uraian di atas, Glaser (1963) yang dikutip oleh W. James Popham menyatakan bahwa terdapat dua strategi pengukuran yang mengarah pada dua perbedaan tujuan substansial, yaitu pengukuran acuan norma (NRM) yang berusaha menetapkan status relatif, dan pengukuran acuan kriteria (CRM) yang berusaha menetapkan status absolut. Sejalan dengan pendapat Glaser, Wiersma menyatakan norm-referenced interpretation is a relative interpretation based on an individual’s position with respect to some group. Glaser menggunakan konsep pengukuran acuan norma (Norm Reference Measurement / NRM) untuk menggambarkan tes prestasi siswa dengan menekankan pada tingkat ketajaman suatu pemahaman relatif siswa. Sedangkan untuk mengukur tes yang mengidentifikasi ketuntasan / ketidaktuntasan absolut siswa atas perilaku spesifik, menggunakan konsep pengukuran acuan kriteria (Criterion Reference Measurement).
1. Penilaian Acuan Patokan (PAP), Criterion Reference Test (CRT)
Tujuan penggunaan tes acuan patokan berfokus pada kelompok perilaku siswa yang khusus. Joesmani menyebutnya dengan didasarkan pada kriteria atau standard khusus. Dimaksudkan untuk mendapat gambaran yang jelas tentang performan peserta tes dengan tanpa memperhatikan bagaimana performan tersebut dibandingkan dengan performan yang lain. Dengan kata lain tes acuan kriteria digunakan untuk menyeleksi (secara pasti) status individual berkenaan dengan (mengenai) domain perilaku yang ditetapkan / dirumuskan dengan baik.
Pada pendekatan acuan patokan, standar performan yang digunakan adalah standar absolut. Semiawan menyebutnya sebagai standar mutu yang mutlak. Criterion-referenced interpretation is an absolut rather than relative interpetation, referenced to a defined body of learner behaviors. Dalam standar ini penentuan tingkatan (grade) didasarkan pada sekor-sekor yang telah ditetapkan sebelumnya dalam bentuk persentase. Untuk mendapatkan nilai A atau B, seorang siswa harus mendapatkan sekor tertentu sesuai dengan batas yang telah ditetapkan tanpa terpengaruh oleh performan (sekor) yang diperoleh siswa lain dalam kelasnya. Salah satu kelemahan dalam menggunakan standar absolut adalah sekor siswa bergantung pada tingkat kesulitan tes yang mereka terima. Artinya apabila tes yang diterima siswa mudah akan sangat mungkin para siswa mendapatkan nilai A atau B, dan sebaliknya apabila tes tersebut terlalu sulit untuk diselesaikan, maka kemungkinan untuk mendapat nilai A atau B menjadi sangat kecil. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan memperhatikan secara ketat tujuan yang akan diukur tingkat pencapaiannya.
Dalam menginterpretasi skor mentah menjadi nilai dengan menggunakan pendekatan PAP, maka terlebih dahulu ditentukan kriteria kelulusan dengan batas-batas nilai kelulusan. Umumnya kriteria nilai yang digunakan dalam bentuk rentang skor berikut:
Rentang Skor Nilai
80% s.d. 100% A
70% s.d. 79% B
60% s.d. 69% C
45% s.d. 59% D
< 44% E / Tidak lulus
2. Penilaian Acuan Norma (PAN), Norm Reference Test (NRT)
Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih umum dan komprehensif dan meliputi suatu bidang isi dan tugas belajar yang besar. Tes acuan norma dimaksudkan untuk mengetahui status peserta tes dalam hubungannya dengan performans kelompok peserta yang lain yang telah mengikuti tes. Tes acuan kriteria Perbedaan lain yang mendasar antara pendekatan acuan norma dan pendekatan acuan patokan adalah pada standar performan yang digunakan.
Pada pendekatan acuan norma standar performan yang digunakan bersifat relatif. Artinya tingkat performan seorang siswa ditetapkan berdasarkan pada posisi relatif dalam kelompoknya; Tinggi rendahnya performan seorang siswa sangat bergantung pada kondisi performan kelompoknya. Dengan kata lain standar pengukuran yang digunakan ialah norma kelompok. Salah satu keuntungan dari standar relatif ini adalah penempatan sekor (performan) siswa dilakukan tanpa memandang kesulitan suatu tes secara teliti. Kekurangan dari penggunaan standar relatif diantaranya adalah (1) dianggap tidak adil, karena bagi mereka yang berada di kelas yang memiliki sekor yang tinggi, harus berusaha mendapatkan sekor yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai A atau B. Situasi seperti ini menjadi baik bagi motivasi beberapa siswa. (2) standar relatif membuat terjadinya persaingan yang kurang sehat diantara para siswa, karena pada saat seorang atau sekelompok siswa mendapat nilai A akan mengurangi kesempatan pada yang lain untuk mendapatkannya.
Contoh:
7. Satu kelompok peserta tes terdiri dari 9 orang mendapat skor mentah:
50, 45, 45, 40, 40, 40, 35, 35, 30
Dengan menggunakan pendekatan PAN, maka peserta tes yang mendapat skor tertinggi (50) akan mendapat nilai tertinggi, misalnya 10, sedangkan mereka yang mendapat skor di bawahnya akan mendapat nilai secara proporsional, yaitu 9, 9, 8, 8, 8, 7, 7, 6
Penentuan nilai dengan skor di atas dapat juga dihitung terlebih dahulu persentase jawaban benar. Kemudian kepada persentase tertinggi diberikan nilai tertinggi.
8. Sekelompok mahasiswa terdiri dari 40 orang dalam satu ujian mendapat nilai mentah sebagai berikut:
55 43 39 38 37 35 34 32
52 43 40 37 36 35 34 30
49 43 40 37 36 35 34 28
48 42 40 37 35 34 33 22
46 39 38 37 36 34 32 21
Penyebaran skor tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
No Skor Mentah Jumlah Mahasiswa Jika 55 diberi nilai 10 maka
1 55 1 10,0
2 52 1 9,5
3 49 1 9,0
4 48 1 8,7
5 46 1 8,4
6 43 3 7,8
7 42 1 7,6
8 40 3 7,3
9 39 2 7,1
10 38 2 6,9
11 37 5 6,7
12 36 4 6,5
13 35 3 6,4
14 34 4 6,2
15 33 2 6,0
16 32 2 5,8
17 30 1 5,5
18 28 1 5,1
19 22 1 4,0
20 21 1 3,8
Jumlah Mahasiswa 40
Jika skor mentah yang paling tinggi (55) diberi nilai 10 maka nilai untuk :
52 adalah (52/55) x 10 = 9,5
49 adalah (49/55) x 10 = 9,0 dan seterusnya
9. Bila jumlah pesertanya ratusan, maka untuk memberi nilainya menggunakan statistik sederhana untuk menentukan besarnya skor rata-rata kelompok dan simpangan baku kelompok (mean dan standard deviation) sehingga akan terjadi penyebaran kemampuan menurut kurva normal.
Menurut distribusi kurva normal, sekelompok mahasiswa yang memiliki skor di atas rata-rata 60 dalam kelompok itu adalah:
60 sampai dengan (60 + 2 S.B.) adalah 34,13%
(60 + 1 S.B.) sampai dengan (60 + 2 S.B.) adalah 13,59%
(60 + 2 S.B.) sampai dengan (60 + 3 S.B.) adalah 2,14%
Begitu juga dengan mahasiswa yang memiliki skor 60 ke bawah, adalah:
60 sampai dengan (60 - 2 S.B.) adalah 34,13%
(60 - 1 S.B.) sampai dengan (60 - 2 S.B.) adalah 13,59%
(60 - 2 S.B.) sampai dengan (60 - 3 S.B.) adalah 2,14%
Dengan kata lain mahasiswa yang mendapat skor antara (+1 S.B. s.d. -1 S.B.) adalah 68,26%, yang mendapat skor (+2 S.B. s.d. -2 S.B.) adalah 95,44%.
Dengan demikian dapat dibuat tabel konversi skor mentah ke dalam nilai 1-10.
Skor Mentah Nilai 1 – 10
Skor rata-rata +2,25 S.B.
Skor rata-rata +1,75 S.B.
Skor rata-rata +1,25 S.B.
Skor rata-rata +0,75 S.B.
Skor rata-rata +0,25 S.B.
Skor rata-rata -0,25 S.B.
Skor rata-rata -0,75 S.B.
Skor rata-rata -1,25 S.B.
Skor rata-rata -1,75 S.B.
Skor rata-rata -2,25 S.B. 10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Catatan: mengacu pada kurikulum 1975

CHE
Menurut Fernandes (1984) secara serius evaluasi program mulai dipikirkan sekitar tahun delapan puluhan, makna dari evaluasi program mengalami proses pemantapan. Definisi evaluasi program yang terkenal dikemukakan oleh Ralph Tyler mengatakan bahwa evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasi. Namun ada yang berpendapat bahwa evaluasi program merupakan upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Dengan demikian evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui efektivitas komponen program dalam mendukung pencapaian tujuan program, jika diketahui bahwa hasil belajar (sebagai harapan dari program pembelajaran) tidak memuaskan, dapat dicari di mana letak kekurangannya atau komponen mana yang bekerja tidak dengan semestinya.
Download Selengkapnya
CHE
Dalam pembahasan kali ini, akan membahas salah satu alat keberhasilan non-soal yaitu skala sikap (attitude scales). Skala sikap adalah bentuk instrumen pengumpulan data yang banyak mempunyai kesamaan dengan pedoman wawancara, kecuali penggunaannya. Pengumpulan data dengan skala sikap dilakukan secara tertulis dan dilakukan oleh peserta didk dengan cara mengisi lembar angket dan/atau skala sikap.
Download Selengkapnya
CHE
Kegiatan menganalisis butir soal merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu soal yang dibuat. Analisis butir soal meliputi proses pengumpulan, peringkasan, dan penggunaan informasi dari jawaban siswa untuk membuat keputusan penilaian. Tujuan analisis butir soal untuk membantu meningkatkan tes melalui revisi atau membuang soal yang tidak efektif, serta untuk mengetahui informasi hasil belajar siswa apakah mereka sudah/belum memahami materi yang telah diajarkan. Soal yang bermutu adalah soal yang dapat memberikan informasi setepat-tepatnya sesuai dengan tujuannya, di antaranya dapat menentukan peserta didik mana yang sudah atau belum menguasai materi yang diajarkan di kelas.
Download Selengkapnya
CHE

Evaluasi alternatif (alternative assessment) dianggap sebagai upaya untuk mengintegrasikan kegiatan pengukuran hasil belajar dengan keseluruhan proses pembelajaran, bahkan evaluasi itu sendiri merupakaan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran

Download Selengkapnya
CHE

Paparan singkat ini akan mencoba membahas dan mengurai mengenai instrumen evaluasi hasil belajar yang memiliki posisi penting dalam evaluasi hasil belajar untuk mengetahui seberapakah perolehan siswa/mahasiswa dalam mencapai tujuan dalam pembelajaran.


Download Selengkapnya
CHE



Pendahuluan

Proses belajar yang terjadi dalam diri seseorang untuk mencerna berbagai ragam pengetahuan sangat rumit. Tidak sekaligus terjadi, melainkan secara bertahap, berkembang terus menerus. Waktu, kematangan atau kesiapan mental pebelajar, lingkungan belajar, serta tingkat kesulitan materi sangat berpengaruh terhadap laju belajar. Belajar memang terjadi secara bertahap atau berjenjang. Jenjang belajar menunjukkan tingkat kesulitan dan kedalaman penguasaan pengetahuan.

Berdasarkan hal tersebut, maka dunia pendidikan mulai memperhatikan peranan rumusan tujuan pembelajaran, dan analisis terhadap kepingan materi ajar, termasuk teknik penyajian serta prosedur pemahamannya. Istilah analisis tugas digunakan sejak AU AS menerapkan langkah-langkah pelaksanaan pekerjaan untuk peralatan militer baru. Flanagan menerapkan critical incident technique, yaitu analisis tugas yang digunakan untuk mempercepat pemahaman belajar seorang anggota militer dalam memasang suku cadang pesawat tempur.

Prosedur baku atau urutan pemahaman belajar ini akhirnya mendorong Bloom(1957) untuk merumuskan taksonomi tujuan pembelajaran. Rumusan Bloom ini terkait dengan pemilahan ranah belajar menjadi kognitif, afektif, dan psikomotor. Terkait dengan evaluasi, Glasser berpendapat bahwa jika tujuan pembelajaran telah dirumuskan dengan baik, maka tujuan pembelajaran itulah menjadi acuan keberhasilan seorang peserta didik.


Pembahasan


  1. Taksonomi Kompetensi Hasil Belajar Bidang Studi


Taksonomi pada dasarnya usaha pengelompokan yang disusun dan diurutkan berdasarkan ciri-ciri tertentu, contoh taksonomi dalam bidang ilmu fisika menghasilkan pengelompokan benda ke dalam benda cair, gas, dan padat. Kita dapat menemukan taksonomi kompetensi, seperti taksonomi Bloom, Gagne, Merill, Krathwohl, dan sebagainya. Taksonomi kompetensi membagi pendidikan dan pembelajaran ke dalam tiga kelompok, yaitu tujuan:

        1. Taksonomi kompetensi kognitif menurut Bloom

Secara umum proses kognitif terbagi dalam enam kategori, yaitu mengingat (remember), memahami (understand), mengaplikasikan (aplly), menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create). Mengingat merupakan proses kognitif yang sifatnya lebih kepada ‘menyimpan’, sedangkan kelima proses lainnya lebih cenderung tergolong bersifat ‘memindahkan’ informasi dan pengetahuan.

Kategori-kategori dimensi dalam proses kognitif

  1. mengingat, adalah mendapatkan kembali pengetahuan tertentu dari ingatan yang sifatnya jangka panjang (long-term memory). Dua proses pemahaman yang berhubungan dengan kategori mengingat adalah sebagai berikut.

    1. mengenali (recognizing), yakni membandingkan antara informasi dan fakta-fakta yang terjadi dengan pengetahuan terkait. Bentuk penilaian yang biasa digunakan antara lain dengan metode verifikasi, mencocokkan, dan pilihan terpaksa. Bentuk penugasan ‘Benar-Salah’ merupakan metode verifikasi yang paling umum digunakan. Dalam metode pencocokan, siswa diberikan dua daftar istilah yang masing-masing mempunyai pasangan sesuai dengan hubungan asosiasi yang paling dekat, kemudian mencocokkan antar pasangan setepat mungkin. Sedangkan dalam metode ‘pilihan terpaksa’, bentuk yang umum digunakan adalah model pilihan ganda. Disebut ‘terpaksa’ karena siswa hanya dibatasi untuk menjawab sesuai dengan pilihan jawaban yang disediakan.

    2. Mengingat kembali (recalling), biasanya terjadi ketika siswa diberikan teks soal yang harus dikerjakan. Soal ini umumnya berbentuk pertanyaan. Bentuk penilaian untuk ketegori ini sangat bervariasi mulai dari bentuk pengantar yang paling sederhana, artinya siswa hanya diberikan sedikit informasi terkait atau bahkan tidak sama sekali. Misalnya pertanyaan, “Apakah yang dimaksud satu meter?”. Bentuk lain pengantar pertanyaan adalah yang lebih memudahkan, misalnya “dalam sistemmetric, satu meter adalah ukuran untuk menunjukkan..........”

  2. memahami, adalah membangun pengertian (pemahaman) dari pesan-pesan yang muncul dalam proses pembelajaran, baik yang tersampaikan secara lisan, tertulis, maupun dalam bentuk gambar.proses kognitif yang termasuk dalam kategori ini antara lain:

    1. menginterpretasikan (interpreting), adalah ketika siswa dapat mengubah informasi dari satu bentu penggambaran ke bentuk penggambaran yang lainnya. Bentuk assesment test yang sesuai adalah dengan model constructed response (siswa diminta memberikan jawaban) dan selected response (siswa diminta memilih jawaban). Bedanya dengan kategori ‘mengingat’, pada jenis ini informasi yang diberikan haruslah lebih baru dan lebih kompleks, artinya siswa tidak dapat dengan mudah mengingat jawaban yang dibutuhkan hanya dengan melihat informasi-informasi yang ditampilkan secara langsung dalam soal. Konsekuensinya, pada tahap ini siswa tidak hanya bisa bergantung pada memori atau ingatan saja, akan tetapi membutuhkan kerja lebih keras untuk dapat memberikan penggambaran dalam bentuk lain.

    2. memberikan contoh (exemplifying), terjadi ketika siswa mampu memberikan bentuk-bentuk contoh dari konsep umum yang diminta. Dalam hal ini, baik model constructed response maupun selected response sama-sama dapat digunakan sebagai penilaian. Constructed response misalnya, “sebutkan jenis-jenis komponen inorganik dan jelaskan mengapa masing-masing masuk kategori tersebut”. Sedangkan bentuk selected response nya adalah, “manakah di bawah ini yang termasuk kategori komponen inorganik? (a) besi (b) protein (c) darah (d) humus”

    3. mengelompokkan (classifying), terjadi ketika siswa mengetahui bahwa suatu benda/hal masuk ke dalam kategori tertentu yang lebih luas. Dalam penugasan berbentuk constructed response, siswa diberikan sebuah contoh kemudian harus menyusun konsep dasar yang terkait dengannya. Sedangkan model selected response, untuk menjawab konsep dasar yang sesuai siswa diberikan pilihan respon/jawaban.

    4. merangkum (summarizing), terjadi ketika siswa memberikan kesan berupa pernyataan tunggal yang menggambarkan informasi atau mengabstraksikan topik umumnya. Bentuk penilaian yang sesuai misalnya adalah dengan memberikan teks atau potongan teks, kemudian meminta siswa memberikan judul yang mungkin bagi teks tersebut.

    5. mengambil kesimpulan (inferring), meliputi proses menemukan pola tertentu dalam serangkaian contoh. Bentuk assesement test yang mungkin antara lain melengkapi jenis yang mungkin muncul setelah serangkaian kelompok jenis disebutkan, menyebutkan jawaban berdasarkan analogi dengan hubungan antar item yang dicontohkan sebelumnya (misalnya jika ‘bangsa’ diasosiasikan dengan ‘presiden’, maka asosiasi yang tepat bagi ‘negara’ adalah.......), atau mengidentifikasi kira-kira mana item yang tidak termasuk dalam kategori sebagaimana yang memayungi jenis-jenis lain yang disebutkan (pengecualian).

    6. membandingkan (comparing), meliputi proses menemukan persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek, kejadian, gagasan, masalah, ataupun situasi. Teknik yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan membandingkan adalah dengan pemetaan. Dalam pemetaan, siswa akan menunjukkan bagaimana satu bagian objek tertentu memiliki hubungan atau bersesuaian dengan yang lainnya.

    7. menjelaskan (explaining), terjadi ketika siswa dapat mengkonstruk dan menggunakan model sebab-akibat dalam sebuah sistem. Penugasan yang mungkin untuk mengukurnya, contohnya adalah dengan meminta siswa memaparkan alasan, mengidentifikasi untuk memecahkan masalah, merangcang ulang, dan membaca kemungkinan. Untuk memaparkan alasan, biasanya pertanyaan diawali dengan “mengapa...dst?”, sedangkan untuk dalam mengidentifikasi masalah siswa diminta mendiagnosa apa yang mungkin terjadi ketika sebuah pola atau sistem tertentu tidak berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya “jika suatu ketika kamu mengoperasikan alat pompa dengan memompanya berulang-ulang akan tetapi tidak sedikitpun ada udara yang keluar, apa yang mungkin salah?”. Dalam proses rancang ulang, siswa diminta membuat mengubah sistem atau pola tertentu untuk mencapai tujuan lain yang mungkin bersifat baru. Sementara dalam memprediksi, siswa diminta menjelaskan bagaimana suatu perlakuan pada bagian tertentu sebuah pola dapat berpengaruh pada perubahan di bagian lainnya. Misalnya, “apa yang akan terjadi jika kamu menambah diameter silinder pada pompa sepeda?”

  3. mengaplikasikan, biasanya menggunakan prosedur untuk berlatih langsung atau menyelesaikan masalah. Ketika dihadapkan pada tugas berupa latihan, siswa dapat membangun pendekatan tertentu dalam pengalamannya. Sering disebut juga dengan pengetahuan prosedural, yang prasyaratnya tentu saja sebelum dapat mengaplikasikan pengetahuan jenis ini siswa harus mengetahui wilayah konseptualnya.

    1. melaksanakan (executing), di dalamnya, seorang siswa mempraktekkan tata cara tertentu dengan rutin ketika dihadapkan pada tugas lazimnya, yakni latihan.situasi yang merupakan kebiasaan ini sering memberikan cukup arahan menuju pilihan tata cara yang paling sesuai untuk digunakan. Bentuk penilaiannya dapat dengan memberikan tugas seperti biasa, yang untuk menyelesaikannya hanya perlu menggunakan tata cara yang memang sudah umum, terkenal dan lazim digunakan. Dalam matematika misalnya, siswa diminta untuk menyelesaikan persamaan dengan melengkapi bagian yang kosong dalam cara penyelesaian yang disediakan untuk membimbing, memilih jawaban yang mungkin, atau diminta menunjukkan cara penyelesaian dan hasil tanpa teks bimbingan dama sekali.

    2. menerapkan, menggunakan (implementing), terjadi ketika seorang siswa memilih sebuah cara untuk menyelesaikan tugas baru (yang jarang dikenal sebelumnya). Bentuk penilaiannya, siswa diberikan sebuah masalah ‘asing’ yang harus diselesaikan. Untuk memudahkan biasanya di awal disebutkan spesifikasi masalah yang ditampilkan, kemudian siswa harus memilih sendiri cara yang diperlukan dan menyelesaikan masalah tersebut dengan cara yang dipilihnya. Dalam hal ini siswa dapat melakukan modifikasi seperlunya.

  4. menganalisis, adalah memecah-mecah suatu bahan ke dalam beberapa bagian kemudian menunjukkan hubungan satu bagian dengan bagian yang lain, juga hubungannya dengan hal lain di luar bahan tersebut. Banyak penelitian dilakukan untuk menemukan cara yang paling efektif meningkatkan daya analitik siswa. Tujuannya, untuk membangun kemampuan siswa dalam:

  • membedakan antara fakta dan opini

  • menghubungkan simpulan dengan pernyataan yang mendukung

  • membedakan antara sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak memiliki hubungan dengan hal tertentu

  • menentukan bagaimana sebuah gagasan berhubungan dengan gagasan lain

  • memastikan asumsi yang disampaikan melalui perkataan seseorang.

  • Membedakan antara sesuatu yang bersifat dominan dari sesuatu yang sebenarnya subordinat dalam puisi atau musik

  • Menemukan bukti untuk mendukung tujuan sang penulis

Proses yang masuk kategori ‘menganalisis’ antara lain:

    1. membedakan (differentiating), adalah membedakan antar bagian dalam terutama dalam hal relevansi dan nilai penting masing-masing. Bentuk penilaiannya, misalnya dengan meminta siswa mengidentifikasi sesuatu yang lebih penting atau relevan dari situasi yang diberikan.

    2. mengorganisir (organizing), meliputi proses mengidentifikasi bagian-bagian dari situasi atau komunikasi, danbagaimana semuanya masuk dalam satu kesatuan struktur. Dalam mengorganisir, siswa membangun hubungan yang sistematis dan utuh antara bagian-bagian informasi yang ada. Untuk menilai dapat dengan menugasi siswa menyusun karangan (constructed response) atau dengan memberikan potongan teks kepada siswa, kemudian siswa diminta memilih dai anatara beberapa alternatif gambar/grafik yang sesuai dengan teks.

    3. attributing, disebut juga proses dekonstruksi, terjadi ketika siswa dapat mengetahui dengan pasti sudut pandang, penyimpangan-penyimpangan, dan tujuan pokok. Misalnya, ketika membaca sebuah teks siswa perlu mengetahui bagaimana penulis mengambil sudut pandang dalam penulisan teks tersebut. Cara yang dapat dipakai untuk mengukur kemampuan ini adalah dengan menyampaikan materi tertulis atau lisan kemudian meminta siswa menyebutkan sudut pandang yang dipakai oleh penulis, maksudnya, dan sebagainya.

  1. mengevaluasi, diartikan sebagai proses menilai berdasarkan kriteria dan strandar tertentu. Kriteria yang sering digunakan antara lain kualitas, efektivitas, efisiensi dan konsistensi yang dapat ditentukan oleh siapapun (baik siswa maupun yang lain). Sedangkan contoh standar dapat berupa sesuatu yang besifat kuantitatif dan kualitatif. Dengan adanya prasyarat berupa standar dan kriteria tersebut, maka tidak semua penilaian maupaun justifikasi bersifat evaluatif.

    1. mengecek (checking), meliputi pengujian terhadap inkonsitensi atau kekeliruan yang terjadi di dalam proses maupun hasil. Tugas untuk mengecek dapat dilakukan ketika siswa sedang menyelesaikan masalah atau melaksanakan tugas tertentu.

    2. mengkritisi (critiquing), meliputi penilaian atas sebuah hasil atau pengerjaan berdasarkan standar dan kriteria yang sifatnya eksternal. Bentuk penilaiannya, siswa diminta mengkritisi suatu hipotesis atau karya baik yang diciptakan sendiri maupun oleh orang lain. Pengkritisan dapat dilakukan berdasarkan hal-hal yang sifatnya negatif ataupun positif.

  2. mencipta, meliputi penempatan beberapa bagian secara bersamaan untuk membentuk satu kesatuan yang berkaitan dan berdayaguna. Kemampuan menciptakan hal yang baru atau sering disebut kreativitas, bagi sebagian orang baru dapat diakui ketika produk yang dihasilkan merupakan sesuatu yang baru dan tidak biasa. Jadi aspek yang ditekankan pada prosis kreasi atau mencipta ini pada umumnya adalah originalitas atau keunikan. Proses yang masuk kategori ini antara lain:

    1. membuat (generating), meliputi proses penggambaran masalah dan mengantarkannya pada alternatif dan hipotesis yang berhubungan dengan kriteria tertentu. Proses penilaiannya khas, pada umumnya berupa constructed response dimana siswa diminta menghasilkan alternatif-alternatif dan hipotesis. Ada dua macam, yaitu dapat dengan menugasi siswa untuk membuat daftar akibat yang mungkin dari sebuah kejadian (consequences task) dan dengan memberikan tugas untuk menyebutkan manfaat sebuah benda (uses task)

    2. merencanakan (planning), meliputi proses memikirkan dan merancang sebuah metode solusi yang mempertemukannya dengan sebuah kriteria masalah, dengan kata lain, membuat rencana untuk menyelesaikan masalah. Bentuk penugasannya, dapat dengan meminta siswa mengembangkan solusi dari sebuah masalah, menjelaskan rencana penyelesaian masalah tersebut, atau memilih rancangan solusi yang paling tepat atas permasalahana yang diberikan.

    3. menghasilkan (producing), meliputi proses pelaksanaan rencana untuk menyelesaikan masalah yang sesuai dengan spesifikasi tertentu. Penugasan umum yang terkait dengan proses producing adalah penugasan untuk membuat produk berdasarkan spesifikasi tertentu, misalnya membuat rancangan skematis untuk sebuah SMA baru.

CARA MENGISI TABEL TAKSONOMI

Learning Question

Contoh tujuan:”siswa belajar menggunakan hukum elektrik dan hukum magnet untuk menyelesaikan persoalan”. Untuk menempatkan tujuan ini dalam tabel taksonomi, kita harus memeriksa frase kerja dan frase benda dan mengaitkannya dengan kategori di dalam tabel. Secara spesifik, kita harus menghubungkan kata “menggunakan”, dengan salah satu dari enam kategori utama proses kognitif, dan frase benda “hukum elektrik dan hukum magnet” dengan salah satu dari empat jenis pengetahuan. “menggunakan” sebenarnya dapat dengan mudah diasosiasikan sebagai sebutan lain bagi kata “menerapkan”, jadi dapat digolongkan ke dalam kategori “menerapkan” (kategori mengaplikasikan/apply). Sedangkan ‘’hukum...dst” membentuk asosiasi khusus dengan jenis pengetahuan konseptual. Dengan demikian, tujuan ditempatkan dalam kolom yang merupakan titik temu antara proses kognitif “apply” dan dimensi pengetahuan konseptual. Penempatannya dapat dilihat pada tabel berikut.





DIMENSI PENGETAHUAN

DIMENSI PROSES KOGNITIF

1

Mengingat

2

Memahami

3

Mengaplikasikan

4

Menganalisis

5

Mengevaluasi

6

Mencipta

A

PENGETAHUAN FAKTUAL







B

PENGETAHUAN KONSEPTUAL


Knegiatan 1

tujuan

Kegiatan 2

Kegiatan 7


C

PENGETAHUAN PROSEDURAL



Kegiatan 3


Kegiatan 6


D

PENGETAHUAN METAKOGNITIF

Kegiatan 4


Kegiatan 5




Keterangan:

Tujuan : ”siswa belajar menggunakan hukum elektrik dan hukum magnet untuk menyelesaikan persoalan”

Instruction Question

Walaupun tujuan dapat dikelompokkan dalam satu kotak, ketika kita memikirkan kegiatan instruksional lain yang mungkin digunakan oleh guru, kita akan melihat gambar yang lebih rumit dan diferensiatif. Sebagai contoh, jika siswa menerapkan hukum ilmiah, mereka mungkin (1) menentukan jenis masalah yang dihadapi, (2) memilih hukum yang dapat menyelesaikan persoalannya, (3) menggunakan tata cara agar dapat memanfaatkan hukum tersebut untuk menyelesaikan masalah. Kemudian, proses ‘menerapkan’ akan menyinggung dua wilayah sekaligus, yaitu pengetahuan konseptual (pengetahuan tentang jenis dan kategori masalah) dan pengetahuan prosedural (pengetahuan mengenai langkah-langkah berikutnya untuk menyelesaikan masalah tersebut). Kegiatan instruksional dapat membantu siswa untuk membangun kedua jenis pengetahuan ini.

Perlu kita lihat kembali bahwa nyatanya istilah “menentukan”, “memilih” dan “menggunakan” secara berturut-turut sangat dekat dengan mengelompokkan (termasuk kategori memahami), membedakan (termasuk kategori menganalisis), dan menerapkan ( termasuk mengaplikasikan). Dengan demikian proses pembelajaran memberikan ruang kepada siswa untuk merambah ketiga wilayah tersebut sekaligus.

Kemudian, karena siswa mungkin saja melakukan kesalahan dalam pengelompokan, pembedaan, dan penerapan, cukup tepat ketika kemudian menekankan pengetahuan metakognitif selama mengajar. Sebagai contoh, siswa dapat diajari strategi untuk memantau keputusan dan pilihan mereka sepanjang prosesnya untuk melihat apakah yang mereka hasilkan ‘dapat dimengerti’. Pada akhirnya, siswa diminta melakukan proses checking dan critiquing yang merupakan asosiasi dari kategori ‘mengevaluasi’ .

Jawaban dari “instruction question” pada akhirnya menjadi lebih kompleks dari pertanyaan sebelumnya. Ia memberikan ruang bagi siswa untuk membangun pengetahuan konseptual, prosedural, dan metakognitif sekaligus dan melibatkan siswa dalam enam proses kognitif yang termasuk dalam kategori mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, dan mengevaluasi. Penempatannya dapat dilihat pada tabel berikut.

DIMENSI PENGETAHUAN

DIMENSI PROSES KOGNITIF

1

mengingat

2

memahami

3

mengaplikasikan

4

menganalisis

5

mengevaluasi

6

mencipta

A

PENGETAHUAN FAKTUAL







B

PENGETAHUAN KONSEPTUAL







C

PENGETAHUAN PROSEDURAL







D

PENGETAHUAN METAKOGNITIF







Keterangan:

Tujuan : ”siswa belajar menggunakan hukum elektrik dan hukum magnet untuk menyelesaikan persoalan”

Kegiatan 1 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa mengelompokkan masalah

Kegiatan 2 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa memilih hukum yang sesuai

Kegiatan 3 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa menerapkan tata cara yang sesuai

Kegiatan 4 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa mengingat kembali strategi metakognitif

Kegiatan 5 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa menerapkan strategi metakognitif

Kegiatan 6 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa mengecek penerapan prosedur

Kegiatan 7 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa mengkritisi kebenaran solusi mereka



Assesment Question

Untuk mengetahui tingkat kesuksesan belajar siswanya, seorang guru telah membuat setidaknya tiga keputusan penting:

  • apakah dia hanya menitik beratkan pada kolom tjjuan, atau sudahkah ia menilai efektivitas demkian banyak aktivitas pembelajaran yang dilakukan

  • sudahkah ia memadukan antara penilaian dengan pembelajaran yang dilakukan, ataukah ia hanya melakukan penilaian yang berdiri sendiri dengan tujuan menaikkan tingkat?

  • Bagaimana ia mengetahui bahwa tugas yang diberikannya untuk penilaian, telah melibatkan siswa dengan kecenderungan ‘menerapkan’ daripada ‘melaksanakan’.

Antara penilaian terfokus dengan penilaian terdistribusi

Penilaian terfokus adalah yang hanya dupusatkan pada aspek tertentu saja, sedangkan penilaian terdistribusi merujuk pada penilaian berbasis keseluruhan proses yang dialami oleh siswa.

Antara penilaian formatif dengan penilaian sumatif

  • penilaian formatif adalah penilaian yang dilakukan sepanjang proses pengajaran, biasanya ditujukan untuk memicu siswa agar terus meningkatkan kemampuan. Contoh penilaian formatif: Pekerjaan Rumah, tugas yang dikerjakan di dalam kelas.

  • Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilakukan setelah keseluruhan proses belajar mengajar selesai, lebih kepada mengukur tingkat kemampuan siswa. Contoh penilaian sumatif: ujian akhir

Menilai antara ‘menerapkan’ (implementing) dan melaksanakan (executing)

Keduanya sama-sama termasik kategori ‘mengaplikasikan(apply)’, bedanya adalah jika pelaksanaan lebih merujuk kepada situasi yang sama, sedangkan penerapan adalah jenis improvisasi yang dilakukan dalam kondisi yang mungkin sama sekali berbeda dengan kondisi awalnya.

Penilaian dan tabel taksonomi

Menyesuaikan dengan contoh yang kita ambil sebelumnya, maka bentuk penilaian yang mungkin adalah dengan menilai ketepatan prosedur yang dipilih oleh siswa dan menilai ketepatan jawaban yang diberikan oleh siswa.

Dalam kasus ini, dari 10 masalahpoin penilaian diberikan untuk “memilih prosedur yang benar”, yakni meliputi mengelompokkan masalah dengan benar (memahaim pengetahuan konseptual), memilih hukum yang tepat (menganalisis pengetahuan konseptual), dan menyelesaikan masalah (emnganalisis pengetahuan prosedural). Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan mengenai penilaian ini dapat dimunculkan sebagai berikut.



DIMENSI PENGETAHUAN

DIMENSI PROSES KOGNITIF

1

mengingat

2

memahami

3

mengaplikasikan

4

menganalisis

5

mengevaluasi

6

mencipta

A

PENGETAHUAN FAKTUAL







B

PENGETAHUAN KONSEPTUAL


Kegiatan 1

Tes 1A

tujuan

Kegiatan 2

Tes 1B

Kegiatan 7


C

PENGETAHUAN PROSEDURAL



Kegiatan 3

Test 1C

Kegiatan 6


D

PENGETAHUAN METAKOGNITIF

Kegiatan 4


Kegiatan 5






Keterangan:

Tujuan : ”siswa belajar menggunakan hukum elektrik dan hukum magnet untuk menyelesaikan persoalan”

Kegiatan 1 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa mengelompokkan masalah

Kegiatan 2 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa memilih hukum yang sesuai

Kegiatan 3 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa menerapkan tata cara yang sesuai

Kegiatan 4 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa mengingat kembali strategi metakognitif

Kegiatan 5 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa menerapkan strategi metakognitif

Kegiatan 6 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa mengecek penerapan prosedur

Kegiatan 7 : kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa mengkritisi kebenaran solusi mereka

1A: Penilaian terkait mengelompokkan masalah dengan benar

1B: Penilaian terkait memilih hukum yang tepat

1C: Penilaian terkait menyelesaikan masalah



Allignment Question

Semakin banyak ruang yang terisi tujuan, satu atau lebih kegiatan instruksional, ditambah beberapa unsur penilaian, semakin menunjukkan tinggi derajat susunannya. Sedangkan, kolom yang hanya memiliki satu diantaranya, atau bahkan tidak sama sekali, merupakan indikasi lemahnya susunan. Untuk menghindari adanya kesalahan susunan, sebaiknya para guru meninjau ulang atau bahkan mengubah kalimat tujuan, jenis aktivitas pembelajaran, ataupun proses penilaian.

Aspek kata benda


pengetahuan


pemahaman


aplikasi


analisis


sintesis


evaluasi

Menjadi dimensi tersendiri dan terpisah


mengingat


memahami


menganalisis


mengevaluasi

Mencipta/

membuat





Aspek kata kerja

Mengaplikasikan/menerapkan





Dimensi proses kognitif







Kerangka awal kerangka baru kita (setelah diubah)

        1. Taksonomi kompetensi Afektif menurut Krathwohl,dkk

Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang didalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam 5 kelompok

a. Pengenalan/receiving

Tujuan pembelajaran kelompok ini mengharapkan peserta didik untuk mengenal, bersedia menerima, dan memperhatikan berbagai stimulus. Contoh kata kerja operasional:mendengarkan, menghadiri, melihat, memperhatikan.

b. Pemberian respon

Keinginan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap satu gagasan, benda, sistem nilai, lebih daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan perilaku yang diminta. Contoh kata kerja operasiona: mengikuti, berpartisipasi, berlatih

c. Penghargaan terhadap nilai

Penghargaan terhadap nilai merupakan perasaan, keyakinan atau anggapan bahwa suatu gagasan, benda atau cara berpikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal ini peserta didik secara konsisten berperilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak yang meminta. Kata kerja operasional: memilih, meyakinkan, bertindak, mengemukakan argumentasi.

d. Pengorganisasian

Pengorganisasian menunjukkan saling keterhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam suatau sistem nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi daripada yang lain. Dalam hal ini peserta didik menjadi committed terhadap suatu sistem nilai. Kata kerja operasional memilih, memutuskan, memformulasikan, membandingkan, membuat sistematisasi.

e. Pengamalan

Pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang konsiten dengan sistem nilai tersebut. Kata kerja operasional menunjukkan sikap, menolak, mendemonstrasikan, menghindari.

        1. Taksonomi Kompetensi Psikomotor menurut Harrow

Tujuan pembelajaran kawasan psikomotor dikembangkan oleh Harrow (1972). Taksonomi Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara hierarkis dalam lima tingkat. Perilaku psikomotor menekankan pada keterampilan neuro-mascular, yaitu keterampilan yang bersangkutan dengan gerakan otot.

a. Meniru

Tujuan pembelajaran pada tingkat ini mengharapkan peserta didik untuk dapat meniru suatu perilaku yang dilihatnya. Contoh kata kerja opersional: mengulangi, mengikuti, memegang, menggambar, mengucapkan

b. Manipulasi

Pada tingkat ini peserta didik diharapkan untuk melakukan suatu perilaku tanpa bantuan visual, sebagaimana pada tingkat meniru. Pemberian petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal. Contoh kata kerja operasionala yang digunakan: memfokuskan, menghidupkan.

c. Ketepatan gerakan

Pada tingkat ini peserta didik diharapkan melakukan sesuatu perilaku tanpa contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang dan akurat. Dalam melakukan perilaku tersebut kecil kemungkinannya untuk membuat kesalahan. Contoh kata sifat yang menunjukkan tingkat presisi ini adalah: dengan tepat, dengan lancar, tanpa kesalahan.

d. Artikulasi

Pada tingkat ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat. Contoh kata sifat yang menunjukkan artikulasi: selaras, terkoordinasi, stabil, lancar.

e. Naturalisasi

Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis. Peserta didik melakukan gerakan tersebut tanpa berpikir lagi cara melakukannya dan urutannya. Contoh kata sifat yang menggambarkan tingkat naturalisasi: dengan otomatis, dengan sempurna, dengan lancar.

Penutup

Kompetensi menurut Hall&Jones (1976) adalah pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur. Terkait dengan evaluasi, Glasser berpendapat bahwa jika tujuan pembelajaran telah dirumuskan dengan baik, maka tujuan pembelajaran itulah menjadi acuan keberhasilan seorang peserta didik.

Dalam menentukan dan merumuskan tujuan pembelajaran, pengajar sering membatasi diri hanya menggunakan keterampilan atau kemampuan berpikir yang rendah, seperti kemampuan mengingat (recall). Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu memahami berbagai taksonomi tujuan, taksonomi tujuan ini selanjutnya disebut kompetensi akademik oleh nana syaodih (2003) untuk memperoleh wawasan yang luas tentang tujuan pembelajaran.

Taksonomi kompetensi dibagi menjadi tiga kelompok kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tujuan penggunaan tabel taksonomi oleh para pendidik:

  • membantu mereka mendapatkan pemahaman yang lebih meyleuruh mengenai tujuan pembelajaran mereka (baik tabel yang mereka buat sendiri maupun dibuat oleh orang lain); membantu para guru menjawab “learning question”nya.

  • sebagai dampak dari pemahaman tersebut, guru dapat menggunakan tabel tersebut untuk menentukan dengan baik mengenai cara mengajar dan cara melakukan penilaian; membantu para guru menjawab “instruction question” dan “assesment question”.

  • membantu para guru menentukan seberapa sukseskah tujuan, penilaian, dan kegiatan mengajar sama-sama cocok pada jalan yang berarti dan bermanfaat; membantu para guru menemukan jawaban atas “allignment question”.



Buku acuan:

Anderson, L.W. and D. R. Krathwohl. (2001). A Taxonomy for learning, Teaching, and Assesing, A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives New York: Longman

Dewi Salma P. (2007). Prinsip Desain Pembelajaran, Jakarta: Prenada

Suciati. (2005). Jakarta : Dikti